Musim Cinta - 1 (Tria Liya)

3 2 0
                                    

Oleh; Trialiya8

Hujan di pelupuk mata Muci tak sepadan dengan derasnya air di luar gedung pencakar langit ini. Sudah sedari pagi hujan tak mau berhenti. Bahkan bertambah lebat menjelang malam.

"Ah, aku harus segera pulang. Lututku sakit sekali," ucap Muci.

Benar, dia menangis karena lututnya sakit. Biasa, anak muda zaman sekarang 90% memang punya tubuh rapuh.

"Kita tidak bisa pulang jika hujan masih begini," jawab Rena yang mendengar ucapan Muci.

Mereka teman satu kantor. Meski punya jabatan yang lumayan, tak membuat mereka bisa bersenang-senang dengan kehidupan duniawi. Uang mereka tak sebanyak itu.

"Lihatlah, enak sekali mereka yang punya mobil." Muci kembali bersuara dengan masih menyaksikan pemandangan di bawah sana.

"Muci, jangan mengajakku kembali berkhayal tentang hidup enak. Berharap salju tiba-tiba ada di negeri ini aku sudah senang." Kini, Mellia yang ada di samping kanan Muci yang menimpali.

"Ya, kau benar Melli. Aku ingin melihat dan menyentuh salju. Bayangkan, jika ada salju berwarna kuning. Pasti cantik." Nada suara Rena terdengar seperti orang menang lotre. Seolah apa yang dia katakan benar-benar terjadi.

"Imajinasi kalian lebih tinggi dari khayalan yang kuucapkan. Apakah kalian tidak ingin mendaftar kelas menulis? Kalian sangat cocok," cibir Muci. Muci menghela napas saat mendengar kedua temannya itu malah tertawa.

"Hai, ladies. Hujan tidak akan berhenti hanya demi kalian bisa pulang," ucap Seano yang sedang membereskan meja kerjanya.

Terpercik ide dalam benak Muci, "Sean, kamu bawa mobil, kan?" Dia menatap Seano dengan berbinar.

Seano yang mendengar itu tertawa pelan. "Ayo!" kata Seano sambil berlalu menuju pintu keluar ruangan divisi keuangan. "Aku cuma terima satu orang," lanjutnya.

"Gak asik!" Mellia mendengus. Rena memilih mengabaikan. Sedangkan Muci langsung mengikuti Seano dengan wajah berbinar.

¤
¤
¤

"

Muci, bagaimana kalau salju benar ada di negara ini?" Seano bertanya sembari membawa mobilnya keluar dari area parkir.

"Siapa yang tidak ingin melihat salju? Tentu saja senang meski harus kedinginan. Tapi aku rasa salju tidak akan mungkin ada di negara kita."

Seano memperhatikan Muci sejenak. "Semua bisa saja terjadi, Muci. Tidak ada yang tidak mungkin."

"Kamu benar. Meski begitu, aku tetap ingin merasakan salju di negara yang memang sedari awal ada musim salju," jawab Muci dengan pikiran yang mulai terhanyut.

Menyaksikan pemandangan gedung-gedung tinggi yang bermandikan hujan. Lampu jalanan yang menerangi langit hitam. Aroma petrikor yang menenangkan pikiran setelah seharian bergelut dengan angka.

Sungguh, suasana yang sangat menyenangkan.

Seano tersenyum, "Kalau begitu, kamu harus lebih giat agar bisa mewujudkan impianmu. Termasuk rajin olah raga supaya sehat. Tulangmu sudah tua, Muci."

Muci melirik malas. Memilih melihat jalanan, tak membalas ucapan Seano.

Benaknya berkelana ke negara asing. Sebuah gambar yang terpajang di galeri gawainya. Hatinya tiba-tiba sesak, penuh pertanyaan.

Kapan kiranya dia bisa ke sana? Apakah semua itu hanya akan menjadi wacana? Sekadar cerita yang tidak pernah terwujud.

Muci terlalu fokus dengan lamunannya. Tak peduli pada laki-laki di sampingnya yang suka curi-curi pandang.

Tangan Seano memegang kemudi dengan erat. Napasnya sedikit tidak beraturan. Beberapa kali mulutnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu.

Seano masih diam sampai mobilnya terparkir rapi di depan kos-kosan Muci. Dahinya berkerut, gugup.

Suara embusan napas yang dikeluar dengan kuat itu mengalihkan perhatian Muci yang sedang membuka sabuk pengaman. "Kenapa?" tanya Muci.

Ayolah, siapa pun pasti akan langsung bisa menebak. Seano terlalu gugup sampai berkeringat di tengah cuaca dingin.

"Sean, ada apa?" Muci kembali bertanya.

Seano mengerjap pelan. Kembali mengembuskan napas. Sebelum akhirnya menatap Muci dengan yakin.

"Muci, kalau ada yang mengajakmu pergi ke negara bersalju. Apakah kamu mau?" Alis Muci terangkat, menunggu Seano melanjutkan ucapannya. Seolah paham ke mana arah pembicaraan ini.

"Aku ingin mengajakmu berlibur ke sana." Seano berkata dengan lantang.

"Hah? Hahaha, kamu bercanda?" Muci kikuk. Matanya mulai tak fokus.

"Aku serius. Muci, aku yakin kamu tak sebodoh itu mengartikan semua tindakanku selama ini." Seano mengambil tangan Muci, menggenggamnya erat.

"Aku menyukaimu. Aku ingin mewujudkan impianmu. Aku serius," lanjutnya.

Muci terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Semua terlalu dadakan. Meski Muci pun tahu, kalau Sean memang menyukainya selama ini.

"Kamu gak perlu jawab sekarang. Aku akan menunggumu." Sean tersenyum lembut, "Muci, jadilah kekasihku."

"Hujannya berhenti, kamu segeralah masuk ke dalam. Gak perlu diambil pusing, pikirin dulu baik-baik, ya?" Sean menepuk pelan kepala Muci.

Muci hanya mengangguk. Mengucapkan terima kasih dan segera keluar dari mobil. Hatinya berdebar, tapi Muci masih belum mengerti dengan perasaannya kepada Sean.

Semua perlu waktu ... Seperti musim yang mempunyai waktunya masing-masing untuk memeluk bumi.

.
.
.

720

Poros Cinta dan Musimnya (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang