Supernova. Titik koordinat sudah tepat, molekul warni bagai seni meluncurkan sebilah buncahnya dikehampaan masa.Inspirasi, validasi; kutub utara, kutub selatan. Sudah saatnya terpaan memekarkan bunga–'nya'.
"Cih, Kau yakin dengan ini?"
Helaan napas di ujung sana. Aksara pun berantakan sukar terpasang.
—Sejujurnya, boleh saja berjalan mundur. Hirap seperti yang telah lalu. Mendekam pada ombang ambing tak terpanah. Kesal sesal sudah tak terhitung biasa dianggapnya. "Sudahlah."
"'Sudahlah?' Kau masih berani berucap seperti it—"
"Hei, kadang aku tak yakin, kamu tahu sendiri. Kali ini sudah saatnya wacana harus terlaksana."
Terdiam. Tapi masih belum seribu bahasa
—Bohongnya, dia percaya semua hal itu akan mendapatkan bola api kebanggaan. Simpul senyum terpatri di ujung jalan merekah paling lebar. Menapak sungguhan! Lancar tanpa ada batuan menyakitkan. "Semua tergantungpada Kau." Setidaknya, itu sesimpul rajut yang tergantung di benaknya. Ya, setidaknya.
Tersadar, "katamu tidak ada kata terlambat untuk memulai."
"Kau benar." Ya, setidaknya.
Tersadar, "walau yang lalu aku telah menyepelekan, tolong papah aku."
"Aku tidak yakin." Ya, setidaknya.
Tersadar, "aku tidak memohon, ya—setidaknya."
"Sadarlah."
Balik, balik langkah tak harus kesini. Hujan kadang mendorong asa tetap pada detakan. Semua semu, terjadi saat ini adalah hasil dari saat sebelumnya. Sastra menggambarkannya menjadi... rentetan.
Ini sama saja seperti...
Ah tidak, rasanya tidak sama seperti...
Bungkai.
Kekehannya menggelegar, sesuai dugaan. "Itu yang Kau maksud?"
"Semua terjadi barusan. Aromanya begitu menusuk di mata dan tergulung di relung." Mengingatnya sungguhan pilu. Pisau kalah tajam.
"Fakta memang..."
"Semenyakitkan itu."
"Kau tahu."
Terpampang lapang, menyiratkan suasana hanum yang nyelekit. Diantaranya ada mawar hitam dan Rafflesia. Satu ditengah padma paling raksasa diakari sepuncak diamond. Ditengah? Bukan, itu paling ujung, paling ujung lapangan yang kini—
—bentuknya memanjang, terus memanjang dan menyisakan lebar ukuran sepasang telapak kaki.
Sepasang.
Kali ini bukan kekeh, tapi miris. "Itu jalan Kau. Kau—"
"Yakin! Kamu–tak–usah–bertanya–lagi."
Fokus, fokus dengan satu horizontal dan satu vertikal yang dijadikan satu titik. Fokuskanlah. Jangan membuyarkan-'nya'.
Puing-puing (yang nantinya) bertumbuh kembang menjadi tiang-tiang. Itulah yang akan dihasilkan-'Nya'. Berharap, hoki jati kaki jari diri tidak membuat efek domino.
Portal menghempas sekitar—efeknya.
"Aku harap Kau tahan dengan efeknya."
"Tahan? Seperti katamu, 'aku tidak yakin'. Pun jika efeknya menyemprotku, kenapa tidak dari awal saja aku meminimalisir hal itu terjadi. Atau, yang seharusnya dilakukan adalah—"
"Memustahilkan-'nya'."
Bentuk rupawan menawan rawan, berkedok arak di dalam sana. "Seharusnya Kau tahu itu."
Iya, 'di dalam', bukan di ujung. Asal teguh, tekun, terus.
Teguh.
Tekun.
Terus.
Beban pikul, cinta kasih "infinity," katanya. Detik rintik tak semuanya jatuh membasahi mereka. Berlian datang kepada siapa saja yang dipilih oleh keelokan itu sendiri. Eloknya rencana dibalik kebiruan yang sudah jatuh kepada mahluk terpilih.
"Iya aku tahu, sebelum kamu berkata lagi, emasnya kesempatan yang kupunya ini menciptakan kasturi di dalam mawar itu."
Semua tergantung nanti.
Nanti.
Apa kata nanti.