MOS SMP

2 0 0
                                    

Matahari pagi masih bersahabat, belum terlalu terik. Zidan berdiri di depan gerbang SMP barunya, menatap gedung sekolah yang lebih besar dan tampak megah dibandingkan sekolah dasar yang ia tinggalkan beberapa bulan lalu. Suasana pagi itu ramai oleh para siswa baru yang tampak gelisah, bersiap menghadapi acara Masa Orientasi Siswa (MOS). Di antara mereka, Zidan berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya ada sedikit rasa cemas.

"Ini dia, Dan. Mulai lagi dari nol," ujar Husna yang berdiri di samping Zidan sambil merapikan kerudung biru lautnya. Senyumnya terlihat cerah, meski sedikit gugup. Husna memang selalu begitu, mencoba mencari hal positif di setiap situasi, tidak peduli seberapa tegang atau khawatir dia sebenarnya. Zidan hanya mengangguk. Di kepalanya, ia sudah membayangkan seperti apa MOS nanti — berbagai tugas aneh dan mendesak dari kakak kelas yang terkenal galak.

"Kita udah lewat SD bareng, Na. MOS SMP pasti bisa lah," balas Zidan dengan nada santai, meskipun jantungnya berdebar kencang.

"Hati-hati sama kakak kelas. Aku denger, mereka suka bikin tugas aneh-aneh buat anak baru," kata Husna lagi sambil menggigit bibir bawah. Ia jelas khawatir.

“Aku siap-siap mental sih, siapa tau disuruh bawa barang-barang aneh gitu,” Zidan berusaha menenangkan dirinya dan juga Husna.

Belum sempat Zidan melanjutkan, suara peluit nyaring terdengar, membuat seluruh anak baru segera berkumpul di lapangan tengah. Di sana, para kakak kelas sudah menunggu dengan wajah serius dan berdiri tegap. Seorang kakak kelas perempuan, yang terlihat cukup tinggi dan memakai jaket olahraga SMP dengan nametag bertuliskan 'Sari', maju ke depan.

"Selamat datang di SMP kita yang tercinta! Kami ucapkan selamat atas kalian yang sudah berhasil masuk ke sini. Tapi ingat, MOS ini bukan hanya sekedar formalitas. Ini adalah kesempatan kalian untuk membuktikan bahwa kalian layak jadi bagian dari sekolah ini!" Suara Sari lantang, penuh semangat, tapi ada nada tegas yang membuat beberapa anak gemetar.

Zidan mencuri pandang ke arah Husna, yang hanya bisa tersenyum kecut. Mereka berdua sama-sama tahu, MOS ini tidak akan mudah.

                                  ^^^

Hari pertama MOS dimulai dengan pembagian kelompok. Zidan dan Husna berharap bisa berada di kelompok yang sama, namun keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Zidan masuk ke grup tiga, sementara Husna berada di grup lima. Meski berbeda kelompok, keduanya tetap saling menyapa dengan tatapan dan senyuman setiap kali mata mereka bertemu di tengah keramaian.

Zidan mulai berkenalan dengan anggota kelompoknya yang lain. Ada Raka, seorang anak yang tampaknya pendiam tapi pandai; Adit, yang cerewet dan tidak bisa berhenti bicara; serta Lia, seorang gadis yang tampak pemalu tapi selalu tersenyum. Mereka semua memiliki satu kesamaan: ketakutan akan kakak kelas.

Setelah beberapa sesi pengenalan dan kegiatan ringan, tibalah momen yang ditunggu-tunggu oleh para kakak kelas: tantangan MOS. Sari kembali maju ke depan, bersama beberapa kakak kelas lainnya berdiri di belakang, siap memberi instruksi.

"Baiklah, adik-adik. Sekarang, kalian akan mendapatkan tugas pertama. Setiap kelompok harus mengumpulkan barang-barang tertentu dan menyerahkannya kepada kami sebelum waktu yang ditentukan. Barang-barangnya harus sesuai dengan petunjuk yang kami berikan. Yang pertama, kalian harus menemukan daun berwarna merah. Yang kedua, kalian harus membawa sebatang cokelat. Dan yang ketiga... kalian harus menemukan sebuah tanda tangan guru!"

Sontak, anak-anak baru mulai berbisik-bisik, beberapa mengeluh, dan sebagian lainnya mencoba memikirkan bagaimana cara menyelesaikan tugas-tugas itu. Zidan menatap teman-teman kelompoknya. Raka mengangkat bahu, sementara Adit langsung mulai mengoceh tentang strategi mencari cokelat di kantin.

“Yuk, kita pecahkan tugas,” usul Zidan. "Aku sama Lia cari tanda tangan guru, Raka cari daun merah, Adit cari cokelat. Kita kumpul di sini lagi sepuluh menit sebelum waktu habis."

Semua setuju. Mereka pun segera bergerak. Zidan dan Lia berlari ke arah ruang guru. Meski ia tidak terlalu akrab dengan Lia, Zidan merasa gadis itu punya keberanian yang terselubung.

"Kamu tau guru mana yang bisa kita minta tanda tangan?" tanya Lia saat mereka sampai di depan ruang guru yang tertutup rapat.

Zidan menggaruk kepalanya. "Kayaknya Pak Budi, guru olah raga. Dia orangnya santai."

Beruntung, saat pintu ruang guru dibuka, Pak Budi sedang keluar. Tanpa membuang waktu, Zidan mendekat dengan wajah penuh harap.

"Pak, boleh minta tanda tangan, nggak? Buat tugas MOS," kata Zidan setengah berbisik.

Pak Budi mendengus pelan. "Tugas aneh-aneh ya? Oke, sini bukunya."

Zidan mengulurkan buku catatannya dan Pak Budi pun menandatanganinya dengan senyuman lebar. Zidan merasa tugas pertama ini berhasil lebih mudah dari yang ia bayangkan. Setelah itu, mereka menggali kembali ke lapangan.

Di sana, Raka sudah menunggu dengan daun merah di tangannya. “Ini daun dari tanaman hias di taman belakang sekolah,” ujarnya dengan bangga. Sementara itu, Adit terlihat datang sambil memegang batang cokelat yang sudah terbuka bungkusnya.

"Kamu makan cokelatnya?" Zidan mengernyitkan dahi.

"Aku lapar," jawab Adit santai.

Meskipun sedikit tidak sempurna, kelompok mereka berhasil menyelesaikan tugas pertama dengan cukup baik. Namun, Zidan tahu, ini baru awal dari serangkaian tugas yang mungkin semakin sulit.

^^^

Saat istirahat tiba, Zidan bertemu dengan Husna di bawah pohon rindang di sudut sekolah. "Gimana kelompokmu?" tanya Husna sambil menyeruput air minumnya.

"Ya lumayan lah. Tugasnya aneh-aneh, tapi kita bisa selesain," jawab Zidan.

"Kelompokku juga. Tapi lebih banyak drama, ada anak yang membawa daun salah warna. Terus ada yang nggak tau harus minta tanda tangan ke siapa."

Keduanya tertawa kecil. Di tengah tawa itu, Zidan merasakan sesuatu yang berbeda. Ini adalah awal dari perjalanan baru mereka di SMP, dan meskipun tantangannya tidak mudah, ia merasa bersyukur ada Husna di masa depan. Mereka mungkin berada di kelas yang berbeda, namun persahabatan mereka akan terus berlanjut, dan Zidan yakin mereka bisa melalui semua ini bersama, satu langkah demi satu langkah.

*JANGAN LUPA VOTE YAH GAISSS





Ruang KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang