08 : Harapan

472 52 7
                                    

"Harapan. Satu kata yang mungkin menyimpan berjuta cerita. Tak apa untuk selalu merapal segala harap. Tuhan akan selalu punya seribu cara dan waktu untuk meng-aamiinkan itu jika perlu."

****


"Gak pegel apa tuh bibir senyum mulu yak?" — agaknya cibiran seorang Nalaca kepada Aisyah lebih tepat ditujukan kepada dirinya sendiri. Saat ini, Aca terus menyunggingkan senyumnya tanpa lelah. Membuat seorang laki-laki yang tengah duduk di sebuah sofa juga menatap senyum Aca tanpa lengah.

"Enak atau emang laper Dinda?" tanya Sarah diakhiri kekehan.

Aca nyengir begitu lebar. "Hehehe.. gak tau, dua-duanya mungkin, Ma."

Karena disuapin Mama sih lebih tepatnya, sambung Aca dalam hatinya menjawab pertanyaan Sarah.

Mama? Bukan kah Sarah Mama dari Aksa?

Ya, Sarah yang memaksa Aca untuk memanggilnya Mama. Sudah sejak lama sebenarnya Sarah memaksa, yaitu sejak Aca bertemu dan mampir ke rumah Aksa di malam itu. Namun Aca bersikukuh tetap memanggil Tante Sarah. Ia tak enak hati untuk memanggil Mama. Siapa dia bisa seenaknya memanggil mama orang lain dengan panggilan yang sama. Menantu tidak juga. Tapi kalau suatu saat iya pun Aca tak apa. Hehe~

Senyum yang terus terbit di hati Aca adalah gambaran betapa bahagianya dia. Berbagai tanya yang dulu selalu muncul di kepalanya terjawab sudah hari ini.

Gimana ya rasanya manggil seorang wanita dengan sebutan mama? Oh gini ya rasanya.

Gimana ya rasanya disuapin seorang ibu? Oh gini bahagianya.

Gimana ya kalo sakit wajah kita diusap dan dielus manja? Oh gini ya hangatnya.

Harapan-harapan yang Aca lantunkan dalam setiap aamiin-Nya terdengar meski tak semua. Sarah datang benar-benar untuk mengambil peran seorang ibu yang tak pernah Aca rasakan sejak lahir. Bahagia? Bukan lagi. Bahkan jika boleh, Aca terus ingin seperti ini setiap harinya. Aca rela memberikan seluruh pencapaian dan kekayaannya bila memang perhatian ini memerlukan sebuah imbalan.

"Habis cantik," ucap Sarah menginterupsi lamunan Aca. Tangan Sarah kini sudah beralih memegang sebuah gelas berisi air. Ia menunggu Aca selesai mengunyah dan menelan makanannya. Siap memberikan air minum untuk Aca.

"Minum ya?" tanya Sarah yang diangguki Aca. Gadis itu langsung meminum air dalam gelas yang diberikan oleh Sarah.

"Obatnya tolong Sa," pinta Sarah kepada Aksa untuk membukakan obat-obat Aca dari dalam plastik kecil dan bungkusan.

Aksa menurut, dengan segera ia bangkit dari duduknya dan melangkah pada nakas lalu membuka satu persatu obat Aca. "Nih, Ma," ujar Aksa menyerahkan obat-obat itu ke tangan Sarah.

"Aca susah nelen obat begituan Ma," ungkap Aca tiba-tiba.

"Oh ya?" tanya Sarah. Aca mengangguk cepat dengan tampang lesu dan paniknya.

Ya, sedari kecil Aca tak pernah diajarkan oleh siapapun untuk meminum obat berjenis pil atau tablet. Alhasil, ketika ia sakit, Aca lebih memilih opsi obat berjenis sirup.

"Gapapa, biar Mama bantu ya?" Sarah meyakinkan dengan begitu lembut.

"Takut... biasanya suka muntah kalo minum yang begitu." Aca masih tak yakin.

"Bisa cantik, bisa kok pasti. Coba satu dulu ya?"

Sarah mengambil satu butir obat pil berukuran cukup besar berwarna merah lalu memberikannya kepada Aca. "Taruh di pangkal lidah deket tenggorakan, terus tahan ya. Mama bantu deketin gelasnya ke bibir Dinda. Terus Dinda minum langsung glek gitu ya," terang Sarah kepada Aca.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

16 + 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang