7. | Kereta Malam

141 22 1
                                    

Suasana pagi di Jogja akan sangat disayangkan jika terlewatkan dengan bangun siang, maka dari itu selepas solat subuh tadi Kelana memutuskan untuk berjalan-jalan santai menikmati dingin udara pagi. Kicauan burung, orang-orang yang pergi ke sawah, hiruk pikuk daerah yang khas memberikan rasa tenang yang berbeda.

Pagi ini Kelana juga menyempatkan diri untuk mengunjungi makam Eyang Kakung, membawakan al- fatihah yang istimewa, menceritakan hal apa saja yang perempuan itu lewati, dan mengandai jika saja Eyang Kakung masih ada hingga saat ini. Sudah 6 tahun kepergian Eyangkung namun banyak perandaian masih terlintas di kepala "Kalau Yangkung masih ada pasti kita masih bisa keliling naik vespa.." atau "Kalau Yangkung masih ada pasti Faiz juga bisa ngerasain main sama kakeknya kaya kakak-kakaknya yang lain..", Jika ditanya perihal ikhlas maka sudah seharusnya begitu kan ? Tapi rindu itu semakin menggunung tak terkikis. Kelana melangkahkan kaki pulang ke rumah eyang dengan beberapa bungkus jajan lupis gula jawa kesukaannya dengan nostalgia masa kecil yang ia habiskan di sini.

"Nyuwun sewu mas, badhe tanglet. Dalemipun Bu Darsiah pundi nggih ?", seorang laki-laki sekitar usia 40-an dengan motor astrea grand menghampiri Januar yang sedang menghisap rokoknya di halaman rumah Reyno. Januar merespon pertanyaan Bapak itu dengan menggaruk tengkuknya kebingungan, "Gimana pak ?",

Sepertinya bapak itu sadar jika Januar tidak paham bahasa jawa, "Oh ini mas, saya mau tanya rumahnya Bu Darsiah yang mana ? Masnya tau ndak ya ?",

Tentu saja Januar tidak tahu, namun sepertinya ia akan tau setelah melihat seorang perempuan tidak jauh mereka, "Kelanaa!!"

Kelana melangkah mendekat, "Kenapa Jan ?", Ia menatap Januar bergantian dengan laki-laki di hadapannya juga. "Bapaknya tanya rumah orang gitu, tapi gue nggak tau. Barangkali lo bisa bantu", Kelana mengangguk. Sebenarnya Kelana juga tidak yakin karena ia sudah tidak menetap di sini, namun kadang Eyang sering tetangga-tetangga mereka, jadi mungkin ia tahu.

"Mbak tau rumahnya Bu Darsiah ndak ya ?", tanya Bapak itu pada Kelana

"Loh saya cucunya pak, rumahnya yang itu", jawab kelana sembari menunjukkan rumah seberang dengan ibu jarinya, "Oalah yo kebeneran nek ngoten, Eyang ada mbak ?" (Oh ya kebetulan kalau gitu, Eyang ada mbak ?)

"Eyang lagi pengajian pagi di masjid depan itu pak, gimana ?",

"Nggih pun kula nitip mawon niki berkatan, kalih nderek maturke eyang menika dhateng syukuranipun Bu Kaji Sulis"(Ya sudah saya titip bingkisan ini saja, sama tolong sampaikan ke eyang untuk datang ke syukurannya Bu Hajjah Sulis)

"Oalah nggih pak, dinten menopo nggih ?"(Oalah ya pak, hari apa ya ?)

"Seloso pon, mbak" (Selasa pon *hitungan jawa, mbak)

"Nggih pak, mangkih kula sampaikan ke Eyang. Matursuwun nggih" (Ya pak, nanti saya sampaikan ke eyang. Terima kasih ya)

"Nggih mbak, kula pamit rumiyin. Monggo Mbak, Mas", (Ya mbak, saya pamit dulu. Mari Mbak, Mas)

Kemudian Bapak itu menyalakan motornya dan berlalu meninggalkan Januar juga Kelana.

"Makasih ya Na, untung lo pas lewat. Kalau engga gue bingung ga bisa bantu, kasian bapaknya juga", ucap Januar yang sedari tadi menyimak percakapan yang tidak bisa ia pahami dengan baik. Kelana mengangguk, "Yang lain pada kemana emang kok masih sepi?", tanyanya sembari menelisik tatap pada rumah Reyno,

"Belum pada bangun lah, pada main PS sampe jam 3 tadi", ucap laki-laki itu sembari menghembuskan asap rokoknya. "Lo kok udah bangun ? rajin amat, apa belum tidur ?", Januar hanya mendengus dengan senyum tipis enggan menjawab,

"Lo dari mana ? pagi-pagi udah jajan aja",

"Jalan-jalan dong menikmati udara pagi jogja yang nggak boleh dilewatkan, keburu dicemari asap rokok sepagi ini", balas Kelana dengan sedikit sindiran,

Ever EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang