Bagian 2

4 2 0
                                    


Sekitar jam tiga sore, dokter William menghubungi Tamira; memberitahu bahwa orang yang Tamira bawa ke rumah sakit sudah siuman. Itulah kenapa Tamira terlihat buru-buru. Tadinya Tamira ingin mengajak Lia sekalian, namun ternyata gadis itu masih ada urusan di kampus, sehingga Lia menyuruh Tamira berangkat duluan ke rumah sakit, dan Lia akan menyusul nanti. Sesampainya di rumah sakit, dokter William membawa Tamira ke kamar nomor 18; tempat orang itu dirawat.

Begitu Tamira masuk ke dalam ruang rawat, si pemuda menoleh. Sedikit agak kaget. Ini pertemuan kedua mereka setelah malam itu. Namun, si pemuda merasa pernah bertemu dengan Tamira sebelumnya. Di suatu tempat, lalu ... si pemuda pun menggeleng, ia pun segera mengalihkan pandangannya dari Tamira.

Tamira mendekati ranjang, kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan. Dokter William pamit undur diri, dan kini hanya ada Tamira dan si pemuda. Jika dilihat sedekat ini dan dalam keadaan bersih begini, pemuda itu terlihat tampan juga. Kulitnya putih pucat, pantas saja malam itu si pemuda terlihat seperti mayat hidup. Selain faktor karena ia terluka, kulitnya yang sudah berwarna putih pucat semakin pucat, sebab mungkin malam itu dia berusaha menahan rasa sakit yang menyelimuti sekujur tubuhnya.

"Hai," sapa Tamira sedikit agak canggung. Mau tak mau pemuda itu pun kembali menoleh. Ia tak membalas sapaan Tamira, namun pemuda itu menganggukkan kepala.

"Soal kejadian malam itu, aku minta maaf. Harusnya aku keluar dari mobil lebih cepat, tapi aku terlalu takut untuk keluar. Di sana; di jalanan itu sepi sekali."

"Nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah," ujar orang itu akhirnya. "Saya yang tiba-tiba jalan di depan mobil kamu. Wajar kamu terkejut."

"Namaku Tamira," ujar Tamira pada akhirnya. Ia bingung mau membahas apalagi. Meskipun gadis itu sangat penasaran apa yang terjadi pada pemuda itu pada malam itu, ia tak berani bertanya.

"Saya Jenggala."

Jenggala. Tamira menyerukan nama itu dalam hati. Nama yang unik dan juga menarik. Ia jarang sekali mendengar nama itu diserukan, setidaknya di sekitar lingkungannya.

"Nama yang nggak biasa. Saya tahu," balas Jenggala setelah menyadari kebisuan Tamira. Gadis itu tidak mengatakan apapun. Namun ia terlihat melamun, seperti memikirkan sesuatu, dan menurut Jenggala, mungkin gadis itu sedang memikirkan namanya.

"Nama kamu jarang aku dengar," balas gadis itu sedikit agak tersipu; merasa malu sebab ketahuan tengah melamun.

"Saya tahu, dan saya juga nggak mengerti kenapa orang tua saya memberikan saya nama itu. Dalam kamus bahasa Indonesia, arti Jenggala hutan rimba. Artinya sama sekali nggak keren."

Tamira tertawa. Berbanding terbalik dengan bentuk wajah Jenggala yang terkesan serius, ternyata pemuda itu bisa bercanda juga; meskipun Tamira tidak yakin apakah saat ini Jenggala sedang bercanda atau tidak.

"Nama kamu emang nggak terlalu lazim, tapi justru itu, orang-orang bakalan mudah ingat nama kamu."

"Semoga saja memang begitu." Setelah itu, hening menyelimuti mereka berdua. Hanya detik jarum jam yang terdengar.

"Aku bersyukur, kamu nggak keliatan kayak mayat hidup lagi." Tamira bersuara, memecah keheningan yang beberapa detik lalu betah bersemayam di antara mereka.

"Terima kasih. Seharusnya kata itu yang saya ucapkan pertama kali."

Tamira mengangguk sungkan, sekaligus merasa tersipu.

"Sama-sama," balasnya singkat. Tak lama setelah itu, Lia datang. Memecah kecanggungan di antara Jenggala dan Tamira, sebab keduanya dengan kompak menoleh ke arah pintu. Lia mengendap-endap masuk, sebelum akhirnya berdiri di sebelah Tamira dengan malu-malu.

Jenggala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang