Bagian 4

4 2 0
                                    


Kedatangan Joe ke bangsal ruang rawat Jenggala sama sekali tidak terduga. Pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu masuk begitu saja, sehingga membuat Jenggala yang berdiri di depan jendela mau tak mau menoleh ketika pria itu berdehem. Jenggala terlihat terkejut, namun ia segera mengubah raut mukanya. Jenggala membalikkan badan, pemuda itu memangku tangannya ke belakang seperti interupsi istirahat di tempat.

"Pakaianmu bagus, hanya saja modelnya terlalu kuno untukmu," ujar Joe seraya mencebikkan mulutnya sekilas. Pria itu merentangkan kedua tangannya sembari menaikkan kedua bahunya ke atas. "Jangan tersinggung," tukas pria itu lagi. Ia berdiri di samping Jenggala, lantas menepuk bahu kanan pemuda itu dengan sengaja.

"Saya tidak punya pakaian ganti, bukan berarti saya suka sama pakaiannya." Pakaian yang dikenakan Jenggala sebenarnya tidak terlalu kuno. Hanya saja pakaian itu adalah pakaian khas bapak-bapak sekali. Kemeja kotak-kotak berlengan pendek yang dipadukan dengan celana kain berwarna coklat. Dan tak lupa pula ikat pinggang yang kepala sabuknya sedikit agak kebesaran. Meskipun tidak terlalu suka dengan pakaian yang dikenakannya, Jenggala tetap mengenakan pakaian itu lantaran ia tak punya pilihan lain. Pakaian lamanya sebelum diganti dengan pakaian rumah sakit sudah sangat kotor, lecek, dan juga berbau amis.

"Oke, saya mengerti, kamu tidak perlu menjelaskannya secara rinci pada saya."

Jenggala mengangguk. Lalu ia memandangi Joe cukup lama. Ada perlu apa Joe datang ke mari menemuinya?

"Maaf, tapi ada perlu apa? Apakah ada tugas untuk saya?"

Joe menggeleng, pria itu tersenyum tipis. "Ini tentang ayahmu," katanya sukses membuat Jenggala membeku. Benar, bagaimana kabar ayahnya?

"Kenapa dengan ayah saya?" Jenggala bertanya dengan hati-hati; harap-harap cemas. Setelah malam itu, Jenggala tidak tahu kabar ayahnya.

"Jawab pertanyaan saya," ujar Jenggala dengan nada tegas.

"Ayahmu sudah meninggal." Dan Jenggala merasa bahwa dunianya baru saja runtuh. Pemuda itu terdiam, juga terpaku di tempatnya. Firasatnya malam itu ternyata memang benar, dan suara tembakan yang ia dengar sebelum melarikan diri memasuki hutan memang ditujukan untuk ayahnya. Kebohongannya pada Tamira mengenai kedua orang tuanya yang sudah tidak ada ternyata bukan sekadar kebohongan belaka. Padahal Jenggala sengaja berbohong demi menyembunyikan identitasnya agar tidak ketahuan; sekarang kebohongan yang pernah dia ucapkan pada Tamira menjadi kenyataan.

"Dia berusaha melarikan diri dari polisi, dan itulah yang terjadi. Dan kamu harus segera pergi dari sini, Jenggala. Polisi sudah mulai bergerak, dan saya rasa, mereka pasti memeriksa setiap rumah sakit dan mencari pasien yang mengalami luka tembak. Kamu dalam bahaya, Jenggala."

"Saya nggak bisa pergi sebelum berpamitan pada seseorang."

"Berpamitan? Pada seseorang?" Joe tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sejak kapan pemuda itu mengucapkan selamat tinggal pada seseorang? Apa sekarang dia beralih menjadi manusia berbudi?

"Ya, berpamitan pada seseorang," jawab Jenggala pelan.

Joe pun mengangguk. Kemudian berjalan menuju pintu. "Saya tunggu di parkiran," katanya sebelum menutup pintu dengan rapat.

Sepuluh menit kemudian, Tamira datang. Seperti beberapa hari yang lalu, ia membawa keranjang berisi buah-buahan segar, juga sebungkus roti tawar.

"Kamu sudah dibolehkan pulang?" tanya gadis itu kebingungan. Memang betul Jenggala sudah memberitahunya mengenai masalah ini, namun Tami tidak menyangka kalau Jenggala diperbolehkan pulang secepat ini.

"Ya, dan keadaan saya sudah jauh lebih baik. Saya sengaja menunggu kamu datang untuk mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan."

Tamira menunduk, entah kenapa ia merasa sangat sedih. Cara Jenggala mengucapkan perpisahan seperti sebuah isyarat bahwa mereka tak akan bertemu lagi. Mungkin tak akan pernah lagi bertemu.

Jenggala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang