Bagian 5

3 1 0
                                    


Pada pukul sepuluh malam saat kafe sudah tutup, semua karyawan yang bekerja di kafe memulai pekerjaan mereka yang sesungguhnya. Bayu dan Meru sudah pergi dari sepuluh menit yang lalu sebelum Jenggala menutup kafe.

Pemuda itu baru saja hendak mengunci pintu kafe tatkala sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depan kafenya. Seorang perempuan berusia sekitar 28 tahun membuka pintu mobil. Ia menghampiri Jenggala dan menyerahkan kartu namanya. Dia seorang pengacara, tapi ada perlu apa seorang pengacara mendatanginya?

"Kamu, Jenggala?" tanya perempuan itu seraya menyalakan rokok yang baru saja diselipkannya di antara kedua belah bibirnya.

"Ya, saya Jenggala. Ada perlu apa?"

Perempuan itu menghembuskan asap rokoknya ke udara sebelum akhirnya membuang benda laknat itu ke tanah dan menginjaknya hingga padam.

"Saya perlu bantuan kamu."

Meskipun sedikit merasa heran, Jenggala mengangguk. Pemuda itu mempersilakan si perempuan masuk ke dalam kafe. Sebelum menutup pintu kafe, Jenggala menelisik area secara menyeluruh. Setelah meyakini bahwa tak ada yang memperhatikan mereka. Jenggala segera menutup dan mengunci pintu kafe, lalu kemudian membawa si perempuan ke ruangan khusus.

"Apa yang harus saya lakukan?"

Si perempuan tersenyum getir. Ia mengeluarkan selembar foto dari dalam tasnya. Orang di dalam foto itu adalah seorang laki-laki yang Jenggala perkirakan seumuran dengan Tamira.

"Kamu ingin saya membunuh orang ini?" dan si perempuan pun tertawa.

"Mana bisa kamu membunuh orang yang sudah mati?"

Kedua alis Jenggala mengerut ke bawah. Pemuda itu memandangi foto itu sekali lagi. Jika diperhatikan secara saksama, laki-laki yang ada di dalam foto dengan si perempuan sangat mirip. Apakah mereka bersaudara?

"Dia adik saya, sudah meninggal seminggu yang lalu. Dia meninggal karena bunuh diri, tapi saya nggak percaya. Pasti ada pemicu yang membuat adik saya nekat melakukan itu."

"Maksudmu, ada penyebab kenapa dia melakukan itu?"

Si perempuan mengangguk. "Saya menyelidiki kasus kematian adik saya. Dan kamu tahu? Saya menemukan banyak pesan ancaman di hp adik saya, dari nomor yang sama sekali nggak bisa dilacak."

"Lantas, kamu ingin saya mencari tahu orang di balik nomor itu?"

Si perempuan lagi-lagi mengangguk. Namun terlihat raut penolakan di wajah Jenggala.

"Saya bukan polisi, dan mencari tahu siapa orang di balik nomor itu bukan tugas saya."

"Saya ingin kamu membawa orang itu kepada saya, saya hanya ingin dia mengakui kesalahannya dan mendapatkan hukuman yang setimpal. Saya mohon, bantu saya memecahkan masalah ini." Si perempuan memohon, terlihat raut putus asa dari wajahnya.

"Tapi tetap saja, melacak seseorang melalui nomor telepon bukan wewenang saya. Maaf, tapi saya nggak bisa melakukan itu. Mungkin kamu bisa minta tolong orang yang lebih mumpuni dari saya."

"Tidak, Jenggala. Harus kamu yang melakukan ini. Saya nggak bisa melibatkan polisi dalam kasus ini. Kamu tahu sendiri gimana hukum itu bekerja. Kalau saya minta bantuan sama polisi, pelaku di balik kasus kematian adik saya nggak akan pernah ditangkap."

"Tapi-" baru saja Jenggala hendak menyela. Si perempuan sudah lebih dulu menyela ucapannya.

"Ada tiga orang kandidat dalam kasus ini." Si perempuan mengeluarkan tiga lembar foto dari dalam tasnya. Ketiganya adalah laki-laki. "Mereka bertiga terlibat dalam kasus ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jenggala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang