Keesokan harinya, Tamira datang lagi ke rumah sakit, dan kali ini gadis itu datang sendirian. Lia tidak bisa datang karena ada urusan keluarga dan Tamira tidak merasa keberatan membesuk Jenggala sendirian, namun sebelum pergi, Lia sudah mewanti-wanti Tami supaya tidak mudah percaya dengan Jenggala, dan gadis itu hanya mengangguk-angguk saja, malas meladeni sikap posesif sahabatnya itu. Kali ini Tamira tidak datang dengan tangan kosong, gadis itu membawa berbagai macam buah-buahan dan juga membelikan roti untuk Jenggala. Barangkali pemuda itu sudah bosan dengan makanan rumah sakit dan ingin makan roti. Tami mengetuk pintu kamar tempat Jenggala dirawat, begitu diizinkan masuk, gadis itu pun masuk, Tamira menaruh keranjang berisi buah-buahan dan juga sebungkus roti di atas nakas yang berada tidak jauh dari posisi kasur. Gadis itu tersenyum dan menyapa Jenggala dengan ramah."Kamu terlihat jauh lebih baik dari kemarin," ujar Tamira bermaksud basa-basi. Tolong jangan ceramahi Tamira, gadis itu memang tidak jago mencari topik pembicaraan. Berbanding terbalik dengan Lia yang bisa luwes menanyakan apapun pada Jenggala tanpa merasa sungkan.
"Dokter bilang, beberapa hari lagi saya sudah diperbolehkan pulang," jawab Jenggala sambil tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu, aku senang dengarnya."
Dan Jenggala pun menanggapi ucapan Tamira dengan mengangguk. Kemudian hening kembali menyelimuti dua insan tersebut.
"Kamu sudah cukup lama berada di sini, apa kamu nggak menghubungi keluargamu? Mereka pasti khawatir karena kamu nggak memberi kabar selama beberapa hari."
Jenggala tersenyum, pemuda itu sedikit beringsut di atas tempat tidur, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk duduk.
"Saya tidak punya keluarga," katanya dengan tenang, dan Tamira terkejut mendengar pengakuan lelaki itu. Tamira kembali merasa tidak enak pada Jenggala. Kepalanya penuh, sebab banyak pertanyaan yang berseliweran di dalam otaknya.
"Maaf, aku nggak tau." Tamira menunduk. Terlihat sekali merasa bersalah.
"Kenapa kamu terus minta maaf? Kamu nggak salah apa-apa. Terutama pada saya. Bukan salah kamu saya nggak punya keluarga. Jadi, jangan minta maaf terus."
Tamira mengangkat kepalanya. Kedua sorot matanya menoleh pada Jenggala yang juga menatapnya, lelaki itu tersenyum tipis.
"Saya cuma merasa nggak enak sama kamu. Pertanyaan saya pasti bikin kamu sedih."
Jenggala menggeleng. "Selama dua puluh lima tahun usia saya, selama itu pula saya sudah terbiasa sendiri, jadi kamu nggak perlu merasa bersalah. Terutama pada saya."
Kedua pupil mata Tamira melebar. Ia terkejut kala Jenggala berkata bahwa usianya sudah dua puluh lima tahun, dan Tamira berbicara pada lelaki itu seolah mereka seumuran. Dan lagi-lagi Tamira merasa tidak enak. Betapa tidak sopannya ia pada orang yang empat tahun lebih tua darinya.
"Umur kamu dua puluh lima tahun?" tanya Tamira dengan nada terkejut, mencoba memastikan ulang.
"Ya, umur saya genap dua puluh lima tahun dua bulan yang lalu, kenapa kamu terlihat sangat terkejut? Kamu lebih muda dari saya?" Jenggala bertanya hati-hati. Takut-takut salah bicara.
Dan Tamira pun mengangguk. "Satu bulan yang lalu, umur saya genap dua puluh satu tahun."
Dan kini gantian Jenggala yang terkejut. Gadis itu ternyata jauh lebih muda dari yang ia duga. Awalnya Jenggala pikir, mungkin gadis itu berbeda satu atau dua tahun darinya, tapi ternyata jarak umur mereka terpaut empat tahun.
"Saya tua empat tahun dari kamu ternyata, nggak papa. Kamu bisa berbicara santai dengan saya. Saya nggak masalah dengan itu," tukas Jenggala seakan bisa membaca pikiran Tamira, dan gadis itu tersipu malu dibuatnya. Tamira ingin meminta maaf lagi, namun ia segera mengurungkan niatnya itu. Jenggala melarangnya terus-terusan meminta maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenggala Senja
RomanceDunia Jenggala sangat gelap, hitam tak terpatri. Berbanding terbalik dengan dunia Tamira yang banyak warna. Dunia gadis itu terlalu terang bagi dunia Jenggala yang temaram. Bersama Tamira; dunia Jenggala perlahan menjadi terang. Gadis itu mengajark...