“Mpi, kamu bisulan?”
Pertanyaan itu terlontar dari bibir Mama Aruni ketika melihat anak tengahnya sejak tadi tidak bisa duduk diam. Jika tidak mondar-mandir seperti setrika, ya duduk seperti cacing kepanasan. Tidak bisa diam.
Dua hari menjelang hari bersejarah dalam hidup alias hari pernikahan Ravi dan Djiwa, laki-laki itu terlihat sangat gelisah. Tiap kali ditanya, Ravi hanya merespons dengan gelengan kepala. Sikap tenang yang biasa ditunjukkan di depan keluarga, seketika menghilang begitu saja.
“Amit-amit, ih, Ma!” protes Ravi yang kini sudah dalam posisi duduk di sofa sebelah Mama Aruni. “Masa manten bisulan,” keluhnya lagi.
“Terus kenapa nggak bisa diem gitu?” tanya Mama Aruni sembari melirik ke arah kaki Ravi yang tidak berhenti bergetar. “Kamu nahan pup, atau gimana, sih, Mpi? Kalau mau ke air, sana dulu!”
Lagi-lagi gelengan kepala menjadi jawaban.
Ravi tampak berpikir. Gerakan kakinya sudah berkurang. Namun, ia melempar tatapan penuh harap ke mamanya itu. “Ma, Mpi boleh ke bengkel, ya?”
Bagi Ravi, melakukan sesuatu di bengkel itu bisa mengurangi perasaan gelisahnya. Entah hanya sekadar mengganti oli, mengganti laker, servis-servis ringan, atau apa pun. Setidaknya ia berharap perasaannya bisa lebih baik dengan mengalihkan pada hobinya itu.
Namun, sebuah geplakan kecil mendarat di bahunya. Mata yang membulat dan bibir yang menipis siap menyemburkan rentetan kata-kata. “Kamu teh lagi dipingit, Mpi! Nggak usah macem-macem! Kalau kangen bau oli mah, tuh ada oli bekas di belakang. Bauin aja weh! Tapi jangan diminum! Kasian nanti Neng Djiwa jadi Janda sebelum nikah.”
Sekarang Ravi yakin dari mana turunnya asal bunyi dalam dirinya ini. Mama Aruni lebih-lebih asal bunyinya, sampai kepala Ravi berdenyut tak karuan. Ya, kali bikin Djiwa jadi Janda sebelum nikah. Kalau sesudah menikah pun, ia juga tidak akan mungkin melakukannya. Ravi akan membiarkan seumur hidupnya bersama Djiwa.
“Ma, wajar nggak, sih, kalau Mpi takut?”
Suasana seketika hening. Hilang sudah senyum dari wajah Ravi. Helaan napas beberapa kali ia embuskan. Alisnya bertaut mencoba menetralkan diri.
“Takut kena centong melayang?”
Ravi menggelengkan kepala. Rupanya kejadian saat lamaran itu sungguh membekas di kepala mamanya. Ibarat kata soal Djiwa yang galak dan selalu auto ngamuk tiap kali dengan Ravi, laki-laki itu tidak masalah sama sekali. Namun, bukan itu yang Ravi khawatirkan.
“Terus apa?”
Belum sempat Ravi menjawab, kedatangan seseorang di antara mereka berhasil membuat suasana seketika berubah. Senyum yang sempat Mama Aruni tampilkan perlahan berubah menjadi ringisan. Sementara Ravi, ia memilih untuk tidak lagi bersuara.
“Takut bikin anak orang sengsara?”
Bak busur panah. Tajam dan panahnya berhasil menancap di ulu hati. Ravi bergeming ketika pemilik suara berat itu duduk di antara Mama dan dirinya.
“Kamu bakal bawa Djiwa tinggal di mana setelah nikah nanti? Di ruko?”
Ravi menghela napas pelan sebelum ia menoleh ke arah sumber suara dan menjawab pertanyaan. Ya, Papa Gani adalah sosok itu. Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan panjang. Karena sejak Ravi memutuskan akan menikah, dan setelah serangkaian acara dijalani, jarang sekali ayah dan anak ini berbicara. Ah, tidak! Tidak! Komunikasi mereka memang sangat buruk sejak lama. Hanya Mama Aruni yang selama ini menjadi perantara.
Mengerti perubahan situasi, Mama Aruni memutuskan untuk pamit dan membiarkan ayah dan anak itu mengobrol dengan semestinya. Dari hati ke hati.
“Bukan di ruko,” balas Ravi singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pair
Romance"Kalau minta doa itu harus spesifik. Siapa tau malaikat lewat, eh terkabul." Kalimat yang pernah Djiwa dengar itu terus berputar di kepala. Permintaan Djiwa itu sebenernya nggak muluk-muluk, cuma ingin nikah di usia 25 tahun dan jadi Ibu Kos. Dengan...