Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah itulah yang kini tengah dirasakan Djiwa.
Beberapa waktu lalu, Djiwa mendapatkan Surat Peringatan alias SP 1 dari pihak kantor atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Djiwa dituduh melakukan manipulasi data. Ia tidak mengerti, padahal ia sudah menyesuaikan dengan data yang ada di lapangan. Sudah dapat dipastikan kalau ia tidak keliru, karena ia selalu melakukan pengecekkan berulang-ulang sebelum disetorkan.
Entah bagaimana, data yang dikirim dari Djiwa itu berubah tidak seperti yang ia kerjakan. Seperti ada yang sengaja mengacak-acak. Ia tidak ingin menuduh, tetapi ia tidak suka menjadi tertuduh. Tidak terima dengan SP yang diberikan, Djiwa mengumpulkan bukti-bukti kalau ia tidak melakukan kesalahan, dibantu oleh tim departemennya.
Benar saja. Djiwa terbukti tidak bersalah. Ada oknum yang sengaja melakukan hal licik itu. Oknum yang ia pikir adalah rekan kerja yang baik dengan tega menikamnya dari belakang. Hasil akhirnya, SP1 itu dicabut.
Belum sembuh sakit kepala Djiwa akibat masalah yang menimpa belakangan ini, gadis itu dikejutkan dengan sepatah dua patah kalimat yang terlontar dari sang kekasih dua malam setelahnya.
“Kamu terlalu baik, Neng. Saya nggak bisa lanjut sama kamu.”
Terlalu baik katanya? Alasan putus macam apa ini? Alasan yang paling klise dipakai oleh orang-orang yang sudah bosan, takut akan komitmen, atau sudah menemukan incaran lain. Entah yang mana yang tepat di antaranya.
Saking pening kepala Djiwa saat mendengar kata-kata itu, rasanya ia ingin segera pergi tidur. Alih-alih melayangkan rentetan pertanyaan yang seharusnya dilontarkan. Ia tidak punya tenaga banyak. Meski ia tahu, setelah bangun dari tidurnya nanti, itu semua tetap bukanlah mimpi.
Pasca permasalahan di kantor dan kandasnya hubungan dengan sang kekasih setelah tiga tahun menjalin cinta, rasanya kehidupan Djiwa terasa tak menggairahkan. Kobaran semangat yang biasa menggebu, sepertinya nyaris padam. Kehilangan semangat disertai patah hati adalah perpaduan yang dahsyat. Masih bisa beraktivitas dengan normal saja, sudah Djiwa syukuri.
Pagi-pagi Djiwa pergi ke kantor, malam kembali ke rumah. Setelahnya, gadis itu akan mengurung diri di kamar. Seperti itu, dan terus berulang. Itu yang terjadi selama dua minggu ini.
“Teteh!”
Suara itu lagi. Di atas ranjang, Djiwa menghela napas panjang-panjang. Kegiatan menatap langit-langit kamar setelah pulang kerja selalu terusik oleh suara itu. Tunggu saja, sedetik lagi suara itu akan kembali muncul.
“Teteh!”
Nah, kan! Kali ini bersamaan dengan pintu kamar Djiwa yang terbuka setengah, dan sesosok laki-laki tinggi muncul di antaranya.
“Teteh makan dulu! Itu Ibun udah masakin oseng cumi kesukaan Teteh,” kata Renjana—adik laki-laki Djiwa—yang masih berdiri di dekat pintu.
“Iya, nanti,” balas Djiwa dengan enggan. Gadis itu tidak mengubah posisinya. Masih terbaring sembari menatap langit-langit.
“Sekarang, Teh. Kita makan bareng-bareng.”
“Nanti, Njan.”
Renjana menggeleng. Laki-laki itu mendekat dan duduk di kursi meja belajar yang ada di dekat ranjang Djiwa. “Nantinya Teteh mah sama dengan nggak makan.”
“Nunggu Ibun, Njan. Bukan nggak makan.” Djiwa mencoba berkilah.
“Ibun nggak akan pulang, dia mau nginep di rumah Uwa,” balas Renjana yang kemudian mencebik. Sore tadi, sebelum Djiwa pulang, ibun memang ke rumah uwa—alias kakak dari ibun—untuk bantu-bantu masak di sana untuk acara arisan besok. Jadi, daripada capek bulak-balik, ibun memutuskan untuk menginap semalam di sana. “Kemarin-kemarin juga bilang gitu. Ada aja alesannya buat nunda makan. Padahal ya, pura-pura bahagia juga butuh tenaga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pair
Romance"Kalau minta doa itu harus spesifik. Siapa tau malaikat lewat, eh terkabul." Kalimat yang pernah Djiwa dengar itu terus berputar di kepala. Permintaan Djiwa itu sebenernya nggak muluk-muluk, cuma ingin nikah di usia 25 tahun dan jadi Ibu Kos. Dengan...