Hampir setahun sudah hubungan Djiwa dan Fariz berakhir. Selama itu pula, Djiwa berusaha untuk melupakan laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya selama tiga tahun. Kenangan dan kebersamaan yang pernah dilalui berdua terlalu sulit untuk dimusnahkan begitu saja. Padahal Djiwa sudah mencoba membuka pertemanan dengan lawan jenis lebih luas lagi, tetapi tidak mengubah apa pun.
“Teh, beneran nggak mau kos?”
Pertanyaan itu sudah didengar Djiwa lebih dari tiga kali pada pagi ini. Wajah memberengut yang terpasang, rupanya tak membuat ibunya berhenti bertanya.
“Ngusir, nih, ceritanya?” tanya Djiwa setengah menyindir. Si sulung itu mengambil nasi goreng di wadah, kemudian menyantapnya.
“Bukan gitu, Teh.” Ibun menjadi tak enak, tetapi ia juga tidak tega melihat anaknya pergi kerja sebelum matahari terbit sepenuhnya, pulang setelah matahari terbenam. “Ibun cuma kasian kamu tua di jalan. Apalagi tiap hari harus lewat macetnya Bojongsoang, belum lagi stopan Samsat yang lamanya bisa sambil botram. Ibun bayangin aja rasanya ingin teleportasi. Apalagi kamu? Belum lagi capek kerja seharian,” lanjutnya dengan memijat kepala. Pening hanya dengan membayangkannya saja.
Djiwa terkekeh. Ia mengerti perihal kekhawatiran ibunya. Namun, ia lebih khawatir meninggalkan ibun sendirian di sini. Semenjak ayah meninggal, Djiwa dan Renjana berusaha untuk tidak meninggalkan ibun sendirian.
Djiwa pernah merantau sebelumnya, saat menempuh pendidikan sarjana. Namun, masih ada Renjana yang menemani. Sekarang giliran adiknya yang merantau untuk kuliah. Dan Djiwa tidak keberatan kalau harus menempuh jarak cukup jauh, yang penting tetap bersama ibun.
“Tenang, Bun, aku kan manusia kuat!”
“Kuat, kuat!” Ibun mencebik. “Ibun juga manusia kuat! Nggak apa-apa banget, loh, kalau Ibun di sini sendirian. Kalau siang kan Ibun bisa pergi ke tempat Uwa, atau kumpul sama tetangga-tetangga. Nggak sepi-sepi banget. Lagian jaman udah canggih, kalau kangen anak-anak kan bisa video call. Ibun lebih nggak tega liat anak Ibun seharian di luar, capek kerja, sampe rumah cuma numpang tidur aja. Kamu nggak kasian sama badan kamu, Teh? Kalau Teteh sakit, Ibun juga sedih.” Ibun mengungkapkan kekhawatiran yang selama ini terpendam.
Djiwa dan Renjana sama saja. Sama-sama keras kepala. Terkadang ibun suka bingung sendiri menghadapi dua anaknya itu. Makin beranjak dewasa, makin teguh pendiriannya. Terlepas dari itu, ibun juga senang kalau anak-anaknya ini kompak.
Djiwa meraih jemari ibunya dan mengusap-usap dengan ibu jari. “Bun, aku nggak apa-apa banget, loh, kayak gini tiap hari. Soalnya, kalau nanti aku udah nikah, belum tentu bisa kayak gini. Jadi, aku mau nikmati masa gadisku di sini, sama Ibun.”
Ibun menyembunyikan harunya di balik tawa. “Kamu masih kepengin nikah di umur 25 tahun? Tahun depan, loh, Teh. Eh, beberapa bulan lagi, deng!” Ibun terdiam beberapa saat, kemudian membulatkan mata menoleh ke arah Djiwa. “Kamu udah move on dari si kutu kupret, kan? Syukurlah… Ibun takut kamu jadi trauma sama cowok gara-gara putus sama dia.”
Djiwa meringis. Boro-boro move on, bayang-bayang Fariz saja masih nempel di kepalanya. Apalagi mereka sempat berpapasan di jalan beberapa kali, karena memang rumah mereka hanya berbeda kampung. Memang sudah tidak ada interaksi lebih antara mereka, jangankan chat, kalaupun berpapasan mereka hanya saling melempar senyum, setelah itu seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, selagi janur kuning belum melengkung, rasanya sah-sah saja kalau Djiwa masih memiliki rasa, walau tak berbalas.
Dan soal menikah di usia 25 tahun, rasanya itu sudah menjadi cita-cita Djiwa yang tertanam sejak kecil. Entah asal celetuk pada awalnya, tetapi Djiwa benar-benar menginginkan menikah di usia seperempat abad itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pair
Roman d'amour"Kalau minta doa itu harus spesifik. Siapa tau malaikat lewat, eh terkabul." Kalimat yang pernah Djiwa dengar itu terus berputar di kepala. Permintaan Djiwa itu sebenernya nggak muluk-muluk, cuma ingin nikah di usia 25 tahun dan jadi Ibu Kos. Dengan...