TPP 8 • Cie Istri!

359 45 19
                                    

Dengan suara yang bergetar, dada yang bergemuruh, sekeras mungkin Ravi mengendalikan diri. Janjinya kepada Tuhan sudah terikrar di hadapan semua orang. Keluarganya, keluarga Djiwa, dan sanak saudara yang lain. Kini, ia dan perempuan berkebaya putih di sampingnya sudah resmi menjadi pasangan suami-istri.

Djiwa tidak kabur. Djiwa memilih untuk tetap menikah dengan Kairavi. Hanya pikiran bodoh Ravi saja yang sempat menawarkan ‘kabur’ sebelum semuanya terlambat. Pikirannya terlalu kacau saat itu. Namun, pada akhirnya Ravi memilih untuk tetap mempertahankan Djiwa.

Helaan napas lega, juga tenggorokan yang tercekat, membuat Ravi menundukkan kepala. Ia perlu mengontrol diri sejenak, agar dapat kuat melihat Djiwa. Dan benar, hanya dengan menoleh ke arah Djiwa persekian detik saja, beberapa tetes air mata Ravi lolos tak dapat dibendung lagi. Laki-laki itu segera memalingkan wajah, berharap Djiwa—yang sama berlinangnya—tidak menyadari itu.

Suasana haru menyelimuti seluruh penjuru ruangan. Siapa sangka, laki-laki muda—yang tadi menjadi wali nikah Kakaknya, pengganti sang ayah yang sudah meninggal—kini tengah menangis tersedu-sedu dan diusap-usap oleh Ibun. Hal ini membuat Ravi kembali menoleh ke arah Djiwa—yang sekuat tenaga menahan air mata saat melihat Renjana. Rahang perempuan itu tampak mengetat. Tangan Ravi terulur dan membawa tangan Djiwa ke dalam genggaman. Tak ada penolakan, tetapi ia dapat merasakan sedikit cengkraman di sana. Bentuk emosi Djiwa yang tengah tertahan.

Beruntung, pembawa acara berhasil mencairkan suasana. Sehingga suasana haru tadi perlahan menjadi jenaka.

“Ayo Kang Ravi! Dipegang tangan teteh Djiwanya, ditatap penuh cinta!” celoteh MC upaya membantu sang fotografer mengarahkan gaya.

Ravi menelan salivanya susah payah. Ia benar-benar merasa kepayahan sekarang. Rasanya tidak sanggup hanya untuk melihat ke arah Djiwa. Namun, ia tidak mungkin terus menghindar. Ketika kedua netra itu saling bertubruk tatap, seketika Ravi merasakan gemuruh di dada. Dapat terlihat dengan jelas, wajah ayu Djiwa yang terpoles make-up, juga dengan hiasan siger khas sunda yang terpasang di kepala.

“Kang Ravi!”

Entah panggilan ke berapa baru berhasil membuat Ravi tersadar.

“Eleuh, si Akangnya kalahkah ngalamun! Saking terpesonanya liat Teteh Djiwa itu teh, ya?”

Digoda seperti itu, Ravi meringis, sementara Djiwa tengah menatapnya tajam sembari menahan malu. Djiwa bahkan memberi kode pada Ravi untuk fokus. Agar adegan foto-foto setelah akad ini segera selesai—walau perjalanan hari ini masih panjang.
Beberapa pose terabadikan dengan baik. Mulai dari saling memandang, memamerkan cincin dan buku nikah, sampai akhirnya…

Sok ya, sekarang Kang Ravi cium kening Tetehnya dengan penuh cinta,” ucap MC yang lagi-lagi memberi arahan sesuai intruksi fotografer.

Kalau ada lomba siapa yang paling mirip dengan tomat, mungkin Djiwa dan Ravi pemenangnya.

***

Kalau ada yang bertanya bagaimana perasaan Djiwa hari ini, jujur saja, ia sendiri pun bingung. Berbagai rasa tumbuh di hatinya. Saling bertubrukan. Jadi, jika dibilang ini hari yang paling membahagiakan, tidak juga. Tapi dibilang hari yang buruk, bukan juga.
Namun, yang paling membuat hati Djiwa menghangat di hari ini adalah ketika melihat raut bahagia Ibun dan Renjana yang sangat kentara. Ia tidak pernah melihat Ibun sebahagia ini setelah meninggalnya ayah beberapa tahun lalu. Ia juga tidak pernah melihat Renjana—adik yang selalu ia anggap anak kecil—menangis sesenggukkan seperti setelah akad nikah tadi.

“Kamu OK?”

Sebuah bisikan berhasil membuat Djiwa terperangah. Satu lagi, sosok yang kini berdiri di sebelahnya. Kairavi Parijata, yang kini sudah sah menjadi suami. Kalau dipikir-pikir, rasanya Djiwa masih enggan melabeli laki-laki itu suami. Aneh. Namun, lagi-lagi ada perasaan lain yang ia sendiri tidak bisa definisikan ketika melihat Ravi. Laki-laki itu sangat berbeda hari ini, tidak ada sosok yang menyebalkan seperti biasa. Makin aneh.

The Perfect PairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang