TPP 6 • Kebohongan

308 50 8
                                    

“Mau ke mana?” tanya Djiwa ketika menyadari Ravi tidak membawanya ke arah pulang.

“Nanti juga tau,” balas Ravi yang mengulum senyum setelah mendengar dengkusan Djiwa.

Kalau dalam keadaan normal, mungkin bahu Ravi akan menjadi samsak karena kekesalan gadis itu. Lihat saja wajahnya saat ini, bibir merah itu tengah mengerucut, alisnya bertaut bak karakter ‘Angry Bird’, tentu saja dengan wajah yang dipalingkan ke arah jendela. Rasanya Ravi ingin tertawa menggelegar sekarang, tetapi ia tahan-tahan.

Gara-gara tragedi centong melayang, Djiwa habis-habisan diomeli boleh Ibun. Ini semua karena benjol di dahi Ravi tidak bisa disembunyikan, dan parahnya lagi Ibun dan Mama Aruni tidak sengaja memergoki waktu kejadian itu terjadi. Beda dengan Ibun, Mama Aruni tampak tenang dan justru telaten mengoleskan salep ke dahi Ravi yang benjol. Sejak saat itulah Djiwa berusaha untuk mengontrol tangannya, walau kelakuan Ravi minta ditampol.

Djiwa dan Ravi baru saja melakukan fitting baju terakhir, sebelum mereka melakukan pingitan seminggu ke depan. Ya, mereka akan melangsungkan pernikahan di minggu depan.

Selama perjalanan, tidak ada yang memulai pembicaraan. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya terdengar suara musik yang diputar dan bisingnya kendaraan. Apa yang diharapkan pada Bandung di akhir pekan? Tidak macet? Tentu saja tidak mungkin.

“Duh! Mau ke mana atuh, euy? Kebelet ee, hah?” komentar Ravi ketika mendengar suara klakson panjang dan menggelegar, ketika lampu hijau baru menyala. Sungguh memekakkan telinga.

“Pantes, bukan plat D!” Djiwa turut berkomentar,  sembari mengusap-usap telinganya sendiri.

Saking jarangnya warga Bandung menggunakan klakson, ada dua kemungkinan yang terjadi. Kebelet buang air, atau pengunjung dari luar kota. Iya, kan?

“Uhm, Djiw…” panggil Ravi tiba-tiba.

“Apa?”

“Nggak jadi!” Laki-laki itu menoleh sesaat dan kembali fokus ke jalanan. “Kalau mau jitak, jitak aja, Djiw. Nggak apa-apa, kok,” kata Ravi usai menyadari Djiwa tengah meremas-remas tangannya sendiri.

“Nggak jelas!”

“Saya kangen kena jitak kamu sebenernya,” sahutnya lagi.

Djiwa sontak bergidik sembari mendelikkan mata. Orang gila mana yang kangen dijitak?

“Djiw…” Usai hening beberapa saat.

“Apa lagi?”

Kali ini nada suara Djiwa meninggi, dan membuat Ravi tergelitik. Djiwa yang galak sudah kembali.

“Seminggu lagi kita kawin.”

“Nikah!” Djiwa segera meralat.

“Ya, kan, udah nikah, kita langsung kawin,” balas Ravi yang terkekeh setelahnya, karena berhasil membuat Djiwa menggeplak bahunya. “Sebenernya, ya, saya mau tanya sesuatu…” lanjutnya setelah menghentikan tawa.

“Apaan? Tanya aja! Nggak usah muter-muter.” Djiwa segera memberi peringatan. “Kalau tanya, kamu cinta nggak sama saya? Kamu kenapa mau nikah sama saya? Mending tanya aja sama tembok. Udah pernah tau, kan, jawabannya?”

Mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir Djiwa berhasil membuatnya lagi-lagi terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepala. Ya, jelas, Ravi sangat tahu jawabannya. Djiwa tidak pernah mencintainya, dan gadis itu juga pernah bilang kalau ia menerima Ravi menjadi hanya karena Ibun dan Renjana, juga karena keluarganya Ravi—yang sudah kenal sejak lama.

“Kali aja berubah pikiran,” sindir Ravi.

Djiwa tak lagi menjawab. Ia hanya menggedikkan bahu tak acuh. “Jadi, mau tanya apa?”

The Perfect PairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang