“Ngapain liat-liat?!”
Djiwa memelototkan mata ketika tak sengaja beradu tatap dengan Ravi. Kedua tangannya spontan membentuk tanda silang di dada, setelah laki-laki itu perlahan mendekat. Seperti sebuah perisai.
“Santai kali, Djiw, tegang amat,” kata Ravi dengan santainya duduk di sebelah perempuan itu. Sangat dekat, hingga Djiwa bergeser sekitar tujuh puluh lima centimeter dari tempatnya.
Setelah kejadian tadi malam, Djiwa makin alergi dekat-dekat dengan Ravi. Bukan! Ini bukan karena adegan ‘malam pertama’ yang sering dibicarakan orang-orang di malam pengantin. Mereka tidak melakukan itu. Namun, Djiwa tetap tidak terima, karena tubuhnya disentuh oleh laki-laki itu.
Bukan berprasangka buruk, tapi siapa lagi orang yang akan memindahkannya dari sofa ke ranjang? Karena Djiwa yakin seratus persen kalau dia bukan tipikal orang yang bisa berpindah tempat saat tertidur.
“Masih belum terima saya pindahin kamu ke ranjang?” tanya Ravi sembari menikmati camilan yang tadi pagi dibawakan oleh petugas hotel.
Ravi dan Djiwa masih berada di hotel tempat mereka melakukan resepsi kemarin. Rencananya, sore nanti mereka akan pulang ke rumah keluarga Djiwa—si mempelai wanita.
“Nggak sopan! Pegang-pegang tanpa izin!” sewot Djiwa yang tengah memindah-mindahkan channel televisi.
“Tapi, kan, saya suami kamu. Udah halal, dong.”
Sahutan Ravi berhasil membuat bulu kuduk Djiwa berdiri. Ia merasakan merinding sebadan-badan. Suami? Ah, fakta apa lagi ini? Djiwa lagi-lagi meratapi kebodohannya itu. Pasti Ravi akan menjadi makhluk yang paling jumawa, Djiwa membatin.
Ruangan kembali hening. Hanya terdengar suara televisi yang menayangkan siaran kartun pagi. Djiwa enggan berbicara dengan Ravi, begitu juga Ravi yang menikmati camilannya sembari menonton kartun pilihan Djiwa. Laki-laki itu memilih diam karena tidak ingin membuat mood istrinya buruk di pagi hari.
Kalau pasangan normal lain, mungkin akan menghabiskan waktu mesra-mesraan, atau hal-hal lain yang dilakukan pengantin baru. Sementara mereka? Boro-boro mesra-mesraan, bisa duduk berjarak tujuh puluh lima centimeter tanpa cekcok saja, sudah suatu anugerah.
Namun sepertinya ... anugerah itu tidak berlangsung lama.
“Aku lakuin ini terpaksa.” Djiwa membuka suara. Ia sudah tidak tahan untuk mengeluarkan unek-uneknya. “Pernikahan ini terjadi cuma buat bikin seneng Ibun dan Mama Aruni,” lanjut Djiwa dengan mengarahkan kepalanya ke arah Ravi.
Tidak ada reaksi berlebih dari Ravi. Laki-laki itu bahkan dengan santainya menghabiskan sisa keripik kentang di toples, sebelum akhirnya membalas tatapan Djiwa. “Saya tahu,” balasnya.
Djiwa cukup tercengang dengan reaksi tenang laki-laki itu. Dadanya terasa bergemuruh. Tangannya mengepal, dan dengan tegas perempuan itu berkata, “Pernikahan buatku itu adalah hal sakral yang terjadi seumur hidup. Aku nggak mau di pertengahan nanti kita harus bercerai.”
“Saya paham.”
Djiwa mendengkus. Memang berbicara dengan Ravi ini perlu kesabaran ekstra. “Saya tahu, saya paham! Dari tadi kamu jawabnya itu terus! Serius sedikit bisa nggak, sih, Ravi?! Kesel aku!”
“Kamu marah-marah terus, deh. Gemes!”
Djiwa memelototkan matanya ke arah Ravi. Kali ini laki-laki itu tengah menatapnya tak kalah serius.
“Saya tahu, saya paham dan saya serius, Djiw. Sama halnya kayak kamu, saya juga ingin pernikahan ini hanya sekali seumur hidup.” Ravi menyerongkan tubuhnya agar dapat melihat Djiwa dengan jelas. Laki-laki itu mendekatkan kepala ke arah telinga si istri. “Ayo kita bekerja sama!”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pair
Romance"Kalau minta doa itu harus spesifik. Siapa tau malaikat lewat, eh terkabul." Kalimat yang pernah Djiwa dengar itu terus berputar di kepala. Permintaan Djiwa itu sebenernya nggak muluk-muluk, cuma ingin nikah di usia 25 tahun dan jadi Ibu Kos. Dengan...