rasyela aldriana :: 02

14 4 0
                                    

Aries POV

[Hari sebelum kecelakaan Isabel]

"Isabelnya ada, Kak?" Aslinya, gue kaget. Tetapi karena kehalang TWS yang berada di telinga gue yang kebetulan lagi jeda ganti ke lagu selanjutnya, maka suara orang di depan gue masih sempat terdengar.

Gue tetap pada posisi awal. Tidak menengok dan hanya melihat dari sudut pandang mata gue saja. "Di dalem."

Samar-samar terlihat dia mengangguk sekalian izin untuk masuk ke dalam rumah gue. Aroma semerbak vanilla yang tertinggal langsung tercium. Jujur, aroma vanilla sangat nggak cocok untuk dipakai di pagi hari, tetapi jika 'dia' yang pakai, walaupun parfum baccarat pun, gue terima dengan ikhlas walaupun kepala jadinya puyeng.

Inilah gue, kalau suka sama seseorang, gue nggak serta merta untuk mendekatinya. Justru, gue tipe orang yang langsung jaga jarak bilamana ada perempuan yang gue taksir. Bukannya nggak mau memperjuangkan perempuan itu, akan tetapi ada cara tersendiri untuk PDKT ke gebetan gue.

Terhitung sudah empat kali, gue bertemu dengan 'si cantik'. Pertama, dia izin masuk rumah gue. Kedua, lari-larian tepat di sekitar gue untuk mengejar kucing peliharaan gue-gue iri sedikit sih, kenapa lo nggak ngejar gue aja? Hehe, bercanda. Ketiga, entah kenapa ia kelihatan murung pas Isabel-adik gue-pergi keluar rumah entah kemana. Keempat, dia izin pulang dan sebelumnya, ia sempat mengajak gue ngobrol.

"Kak, boleh nanya sesuatu?"

Tuhan, dia cantik banget! Asli, bisa-bisanya ada makhluk Tuhan semanis dan seimut perempuan di depan gue. Mana sekarang model ikat rambutnya dibuat kepang kuda. Gemes banget tolong!

"Boleh. Apa emang?" Dia sepenuhnya menghadap ke arah gue dan fokus untuk mengobrol, sementara gue masih fokus sama laptop yang ada di pangkuan. Cuy, gue takut salah tingkah kalau tatap-tatapan mata sama si cantik ini.

"Hmmm, lo tau pacarnya Isabel, 'kan?"

Dia bertanya dengan hati-hati, membuat gue mengerutkan dahi dan menghentikan fokus gue yang tadinya benar-benar sepenuhnya ke arah laptop. "Maksud lo Angelo?"

Dia mengangguk. "Angelo kalau ngambek... Nggak gimana-gimana, 'kan?"

Gue meletakkan laptop di meja. Mulai benar-benar fokus pada pembicaraan. "Sebentar, maksudnya?"

"Hmmm, soalnya gue khawatir, Kak..." Terlihat dia sekilas mengigit bawah bibirnya. Diam-diam gestur ini membuat gue terkagum sejenak, akan tetapi obrolan yang sedang berlangsung cukup membuat gue ingin fokus terlebih dahulu. "Angelo ini lagi ngambek, tapi Isabel bela-belain nyamperin dia. Ya, gue sebagai temen pastinya udah ngingetin dia buat nggak berbuat hal nekat kayak gitu, tapi Isabelnya ngeyel tetep pengen nyamperin gitu..."

Rasa-rasanya, gue pengen meluk dia erat. Karena gue yakin, perempuan gelisah itu memang mudah diberi kalimat penenang, namun lebih ampuh kalau diberi pelukan hangat yang menenangkan. Akan tetapi akan sangat nggak mungkin dengan tiba-tiba gue meluk dia. Dikira gue cowok apaan? Yang ada image gue yang kalem, cuek, dan ganteng pake banget ini luntur lagi.

"Gue juga udah ingetin untuk nggak terlalu bucin, tapi ya, paling nanti sore juga sampe rumah," kata gue dengan santai. Memang seperti sebelum-sebelumnya, Isabel nggak jarang untuk mengunjungi pacarnya. Gue dengan enteng ngebiarin adik gue ke pacarnya, karena pacarnya itu adalah adik dari sohib gue. Jadi gue yakin, Isabel pasti nyamperin Angelo di kediaman sohib gue, jadi sudah dipastikan pasti nggak akan terjadi apa-apa dan bahkan sebelum terjadi hal yang gue nggak inginkan, mereka pun juga paham akibat buruknya seperti apa.

"Tapi, Kak... Ini nggak kayak biasanya. Nggak tau ya, gue rasa kali ini mereka lagi berantem hebat gitu, deh."

Gue menghela nafas. "Yang namanya pacaran pasti ada fase berantem sama baikannya. Biasa itu."

Jarak Tanpa Arah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang