pelampiasan amarah :: 03

15 6 0
                                    

Aries POV

Gue bahkan tidak bisa memaafkan diri sendiri. Tetapi satu hal yang pasti, gue sama sekali nggak bisa memaafkan Regan, dan adiknya yang bajingan itu.

Lumuran darah di jalanan membuat gue tak kuasa menahan tangis. Rangkulan Alfathar senantiasa masih terasa, padahal gue nggak butuh ketenangan yang seperti ini. Yang gue butuhkan adalah, ketenangan bahwa adik gue hadir di rumah. Kembali ke pelukan gue. Kembali makan bersama di atas meja makan di rumah.

Gue nggak langsung ke rumah sakit dimana adik gue sudah divonis kehilangan nyawa. Gue lebih dahulu marah kepada semesta, dengan melampiaskan segala macam amarah buas kepada kakak beradik yang telah keji menghilangkan satu nyawa tak bersalah dengan sia-sia.

"Gue mohon ampun! Keluarga gue masih banyak hutang, biar kami hidup sekali lagi, tolong!!!"

Si bejat Regan dengan tidak tahu diri masih saja ingin hidup. Gue tahu betul, ini kesalahan adiknya, tetapi dia juga berhak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh adik brengseknya itu.

Dan bahkan, walaupun belum separah luka yang kakaknya alami akibat dihajar habis-habisan oleh orang suruhan gue, adiknya dengan kurang ajar masih berdiam diri. Tidak ada satu kata maaf pun sedari awal kami bertatap muka. Anjing seperti itu, apakah layak untuk dimaafkan? Seharusnya layak untuk mati saja.

"Tolong..."

Bugh!

"Keluarga gue... Masih banyak hutang..." Bugh! Bugh! "Argh..."

Regan benar-benar sudah terkapar. Semua sisi tubuhnya sudah dihajar. Begitu pula Angelo. Jika sekali lagi mereka dihajar, nyawa mereka akan terancam.

Sebenarnya, semua ini simpel. Jikalau Angelo dengan sadar meminta maaf sedari awal, gue akan bisa berpikir jernih untuk tidak menyekap mereka dengan orang suruhan gue. Namun, adiknya itu sangatlah memang kurang ajar. Sedari awal sudah diam seribu bahasa, tampangnya saja seperti sedang tidak melakukan kesalahan apa-apa. Sesekali ia melawan, namun naas, sikap melawannya justru membuatnya semakin dihajar brutal.

"Sama sekali nggak minta maaf, nih?"

"G-gue minta maaf-"

"Bukan, bukan lo. Tapi Angelo."

Hujan deras telah mereda. Suara gue menggema di gudang bekas perusahaan ayah gue. Gudang ini lumayan besar, sehingga disinilah gue pilih tempat untuk memberi pelajaran kepada anjing berkedok manusia yang seolah-olah tak mempunyai salah.

"Gue... Salah?"

Jelas benar dugaan gue. Angelo bahkan sama sekali tidak merasa bersalah. Gue tidak tahu, apa yang membuat dia dengan bejatnya memilih selingkuh, tetapi apapun alasannya, sama sekali nggak gue maafkan sampai kapanpun.

Salah satu orang suruhan gue hendak menghajar kembali adik Regan itu, akan tetapi gue tahan.

"Sama sekali nggak merasa bersalah, ya? Hmm..." Gue injak badannya sehingga suara remuk tulang begitu renyah didengar. Tenang, orang tidak tahu diri ini tak sampai kehilangan nyawa, kok. Hanya saja, gue biarkan mereka menderita dengan kesakitan ini.

Gue beserta orang suruhan gue pergi dari sana. Disini mereka memang menderita, akan tetapi, bagi gue penderitaan ini belum seberapa sakitnya, dari apa yang adik gue, Isabella Anjasmara, rasakan selama ini.

Jarak Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang