17

152 29 26
                                    

Aduh aq senyum2 baca komen, maaf blom bisa bales satu2 aq lagi ngetik sambil gendong anak lagi sakit😌.. Jawabannya ada yg mendekati bahkan tepat, tenang ntar aq bagi2 agak banyak kok.. Emang gak niat jualan aq ini, senengnya nulis aja gak bakat dagang😂.. Nih buat yg blom pernah ketemu Alex, aq kasi scene dia dikit d sini.. Klo visul mah d depan udh aq pasang.. Terus wes y aq harus fokus beresin plus rapihin final scene-nya Aiden, jadi aq melipir ke pojokan dulu🤣

Yg diagnosanya blom tegak, nih aq munculin lagi clue gejalanya, semoga tercerahkan y wkwk..

PS : You all really made my day, luv u se multiverse🥹
———————————————————————

"Sakit?" Dr. Grant memberi tekanan pada bagian rusuk Amelia yang menurutnya retak. Gadis itu sedikit mengernyit, meski hanya sebentar.

"Sudah jauh berkurang," jawab Amelia.

Dr. Grant mengangguk lalu melanjutkan pemeriksaannya. Dia mengeluarkan stetoskop, menempelkannya di dada Amelia. "Coba tarik napas dalam. Tahan. Hembuskan. Bagus. Apakah sakit?"

Kali ini Amelia menggeleng. Dr. Grant tersenyum, lalu menurunkan stetoskop-nya. "Kondisinya sudah membaik." Dia membalikkan badan, menghadap Aiden yang berdiri di samping tempat tidur. "Beberapa hari istirahat dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa lagi."

Amelia mengerang. Jangan istirahat lagi. Otot-ototnya sudah berteriak minta diberi pekerjaan. Dia sudah siap melayangkan protes, tapi Aiden bicara sebelum dia sempat melakukannya.

"Baiklah. Dia akan istirahat dan tidak ke mana-mana."

"Aiden..."

"This is not a discussion," Aiden berkata tajam. Mengubur protes apa pun yang ingin keluar dari bibir Amelia. Gadis itu diam. Bukan karena dia tidak bisa mendebat Aiden, tapi karena temperamen pria itu yang akhir-akhir ini mudah sekali tersulut. Dan tampaknya, bukan hanya dia yang menyadari perubahan dalam diri pria itu.

"Aiden, bisa kita bicara sebentar?" dr.Grant memberi isyarat pada Aiden untuk keluar dari kamar. Pembicaraan pribadi yang tidak melibatkan Amelia. Aiden mengikuti isyarat tersebut lalu keluar dan menutup pintu.

Amelia turun dari tempat tidur, mengendap-endap seperti pencuri lalu menempelkan telinga di daun pintu serapat mungkin. Dia tidak peduli meski tindakannya termasuk kategori memalukan. Kalau Aiden memang menganggap Amelia kekasihnya, seharusnya pria itu duduk dan bicara bersamanya, bukan menahan Amelia seperti tawanan.

"Are you okay?" Itu suara dr. Grant yang bertanya, pelan tapi terdengar cukup jelas di telinga Amelia.

"I'm fine," Aiden menjawab dengan nada bicara yang biasa Amelia dengar akhir-akhir ini. Ketus dan tidak bersahabat.

"You don't look fine. Kau sudah berkonsultasi dengan dr. Ramirez?"

"Aku tidak akan menemuinya. Aku tidak punya masalah apa pun."

"Kau harus bertemu dengan psikiater, Aiden."

"I'm not taking anymore drugs!" Suara Aiden terdengar marah dan berbahaya. Amelia menutup mulutnya dengan terkejut. Dia tidak tahu kalau Aiden memiliki masalah seserius itu. "My anger management is fine," didengarnya Aiden kembali bicara. "Aku bisa mengatasinya dengan baik bertahun-tahun ini. Tidak ada yang berubah."

Terdapat jeda cukup lama sebelum Amelia kembali mendengar suara dr. Grant. "Talk to someone."

"Who? Alex is not here anymore." Kegetiran mewarnai suara Aiden. Amelia berusaha mengingat di mana dia pernah mendengar nama tersebut, lalu pembicaraannya dengan Destiny teringat kembali.

Accidentally in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang