15

194 33 37
                                    

Bonus lagi terus libur apdet dulu y, ketemu minggu depan😬.. Kalo d putus d chapter sebelumnya kasian yg baca🫣.. Chapter ini panjang n gak bikin penasaran, puas2in dah wkwk
———————————————————————

Destiny mengernyit saat seseorang membuka pintu kamar dan membuat cahaya lampu dari lorong, tepat mengenai wajahnya. Gadis itu menyipitkan mata, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya terang yang tiba-tiba menembus kegelapan kamar asramanya.

"Amy, kaukah itu?" tanya Destiny dengan suara serak sambil mengangkat tubuh, menyangganya dengan salah satu siku.

"Ya."

Hanya jawaban singkat itu yang dia terima sebelum pintu kembali tertutup. Destiny meraih ponselnya yang berada di nakas kemudian melihat waktu yang tertera di layar. Pukul satu pagi. Gadis itu kembali mengerutkan wajah.

"Kenapa kau pulang larut sekali? Kupikir kau masih akan menginap di tempat Aiden."

"Tidak."

Lagi-lagi jawaban singkat, mengundang rasa penasaran pada diri gadis itu. Destiny duduk, masih dengan wajah mengantuk, dia menyalakan lampu tidur di atas nakas. Meski dengan cahaya remang-remang, dia dapat melihat Amelia yang berbaring di tempat tidurnya sendiri dengan hati-hati. Juga ringisan di wajah teman sekamarnya itu. Kali ini Destiny benar-benar telah bangun, lalu tanpa pikir panjang, dia bangkit dan menyalakan lampu kamar. Pekikan lolos dari bibirnya saat melihat keadaan Amelia.

"Amy, what happened?!" Destiny menghampiri Amelia dengan panik, menyibakkan sebagian rambut yang menutupi wajah gadis itu. "Oh Tuhan!"

Amelia berbaring miring di tempat tidurnya, memasang raut kesakitan pada setiap tarikan napas yang dia lakukan. Pipi kanan gadis itu penuh luka gores juga lebam kemerahan yang mulai berubah warna menjadi ungu. Bibir bawahnya pecah dengan darah segar yang telah mengering, sementara pakaian yang dia kenakan berdebu di mana-mana.

"Amy, apa yang terjadi?" Destiny kembali mengulang pertanyaannya dengan panik, mengusap wajah gadis itu dengan sangat hati-hati.

"Aku...tidak tahu, Dee. Someone...just beat me...."

"What? Who?"

Amelia menjawab dengan gelengan, karena berbicara membuatnya lebih kesakitan. "It hurts...everytime I catch my breathe...."

Wajah Destiny memucat. "Orang itu memukul dadamu?"

"Dia menendangku...di sana."

Destiny membekap mulut, menjadi makin panik setiap kali Amelia mengernyit kesakitan. "Kita harus ke rumah sakit."

"Tidak." Tanpa diduga, Amelia langsung menggeleng tegas.

"What?" Destiny seakan tidak mempercayai telinganya sendiri. "Apa maksudmu dengan tidak?"

"Aku...tidak mau ke rumah sakit."

"Amy, sekarang bukan waktunya bersikap keras kepala."

"Aku tidak mau." Lagi-lagi, Amelia menggeleng. Tampak begitu bertekad kuat di tengah kondisinya yang terluka parah.

Destiny berusaha menekan kekesalannya melihat kekeras kepalaan Amelia saat dia kembali bertanya, "Kenapa?"

"Aku benci...rumah sakit."

"That's a very stupid reason!"

"Aku tidak peduli...Aku tidak mau...ke rumah sakit."

Destiny mengerang, seketika memiliki keinginan untuk mengguncang tubuh Amelia kuat-kuat. Tapi dia tahu percuma saja memaksa gadis itu. Lagipula, dia tidak cukup kuat untuk menyeret Amelia ke rumah sakit ketika gadis itu menolak keras. Namun dia tahu seseorang yang bisa melakukannya.

Accidentally in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang