22

216 32 17
                                    

"Amy, time to go to class."

"Aku sudah bangun, Dee."

Destiny menatap punggung Amelia yang berbaring membelakanginya. Pemandangan yang akhir-akhir ini sering dia temui. Gadis itu membuang napas berat. Teringat hari saat Amelia kembali ke asrama, dengan penampilan berantakan serta air mata di wajah. Destiny tidak perlu bertanya siapa yang menyebabkan itu semua. Hanya satu orang yang bisa membuat Amelia sekacau itu. Aiden.

Namun, Amelia tidak mau bicara maupun bercerita apa pun kepadanya. Kembali bersikap keras kepala serta tertutup. Persis sikap gadis itu pada awal mereka menjadi teman sekamar. Destiny kira, berhubungan dengan Aiden telah mengubah Amelia. Mengubah kepribadian gadis itu menjadi lebih mudah didekati. Lebih terbuka. Lebih ceria. Destiny tidak pernah melihat teman sekamarnya itu begitu bahagia selain saat bersama Aiden. Tapi, dia juga tahu bahwa sumber kebahagiaan seseorang, juga bisa berbalik menjadi sumber kehancuran. Tidak jarang, dia mendengar Amelia menangis saat mengira bahwa Destiny sudah tidur. Meredam isakan ke dalam selimut. Tangisan pilu yang ikut membuat Destiny. Mungkin Amelia hanya menganggapnya teman sekamar, tapi baginya, Amelia adalah sahabat. Teman terdekatnya.

Destiny mengambil langkah ke arah tempat tidur Amelia, duduk di tepi begitu telah mencapainya. Amelia tidak bergerak maupun menoleh. Menatap kosong pada dinding di hadapan gadis itu.

"Aku bisa bilang pada Mr. Fritz kalau kau sedang kurang sehat."

"I'm fine."

Destiny kembali mendesah. Jemarinya bergerak untuk menyibak sebagian rambut yang menutupi wajah Amelia. Mengungkap mata sembab serta muka pucat gadis itu.

"Do you want to talk?"

Gelengan singkat menjawab pertanyaan Destiny. Sebelum sunyi kembali menemani mereka.

"What's the problem, Amy? Apa yang sudah Aiden lakukan padamu?"

Satu nama itu. Cukup satu nama itu untuk membuat air mata Amelia kembali terbit. Gadis itu kembali menangis tanpa suara. Meski dia tidak menginginkannya, namun dia tidak dapat mencegah dirinya sendiri. Amelia menarik selimut lebih tinggi, mengubur wajah di dalamnya. Destiny tidak sampai hati. Ikut merasakan sakit yang Amelia alami walaupun dia tidak tahu penyebabnya. Destiny naik ke atas tempat tidur, memeluk tubuh Amelia yang kini berguncang keras.

"Amy... "

"It hurts... Dee."

"Aiden memukulmu?" Destiny duduk mendadak, terkejut sekaligus marah. Namun, gelengan Amelia mengubah amarahnya menjadi kelegaan. "Then, what did he do to you?"

Butuh beberapa saat bagi Amelia untuk menjawab. Wajah gadis itu masih terbenam di dalam selimut, melebur tangisannya yang belum juga reda. "He lied... to me. Aiden never loves me."

"That's bullshit." Destiny nyaris mendengus, terlepas dari kesedihan Amelia, dia yakin akan satu hal. "Bahkan kakekku yang katarak bisa melihat bahwa Aiden tergila-gila padamu. In case you meet him someday. My point is, don't listen to anyone who said otherwise. They talking nonsense... "

"Dari awal, ini semua bukan tentang aku!" Tiba-tiba, Amelia ikut duduk. Menatap Destiny dengan air mata berlinang dan ekspresi terluka. "Aiden hanya mendekatiku agar Leah cemburu dan kembali kepadanya... "

"That jerk!" Destiny berdiri mendadak. Kelihatan lebih berang daripada Amelia. "Playboy brengsek tidak tahu diri! Oh... Amy. He's good. He is really good. Selama ini aku percaya bahwa dia peduli padamu. His reaction after Leah beat you... "

"What do you mean?" Amelia duduk lebih tegak, menatap Destiny dengan keterkejutan yang sangat kentara. "Bagaimana kau tahu Leah yang memukuliku?"

Accidentally in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang