Bunyi klakson berturut-turut dari segala arah tidak membuatku memperlambat laju mobil, justru Aku semakin menginjak pedal gas secepat mungkin, menuju Rumah Sakit Kota Kedua. Untuk saat ini, aturan lalu lintas dan kemungkinan ada kecelakaan yang menimpaku atau orang lain Aku abaikan, terserah, Aku tidak peduli.
Tanganku yang memegang stir mobil sedikit bergetar, jantungku berdetak kencang, memikirkan perkataan temanku Jean, yang mengabarkan Istriku sedang di rawat di rumah sakit.
Ketika Aku sampai di rumah sakit, Maura masih dalam keadaan kritis. Jean memintaku untuk duduk, karena sejak tadi Aku berjalan bolak-balik di depan pintu ruang rawat Maura, sesekali melirik Maura yang sedang berbaring tenang di ranjang rumah sakit.
"Maura.. dia lompat dari lantai empat, mereka tidak tahu bagaimana dia bisa kesana, ketika dia jatuh, mereka mengatakan Maura menabrak sesuatu yang meredam suara jatuh.. ketika dia di bawa kesini, dia sudah tidak sadarkan diri..." Jean menjelaskan kronologinya dengan pelan dan hati-hati, karena tau suasana hatiku.
Sekujur tubuhku kaku dan dingin seperti robot, kepalaku berdengung ketika mendengar penjelasan Jean, kemudian Aku menoleh dan menganggukkan kepala dengan cara yang kaku, tidak lupa mengucapkan terimakasih karena telah menjaga Maura.
Aku membenamkan kepalaku, tidak ingin orang lain melihat air mata yang menetes di pipiku, dalam hati mengutuk diri sendiri karena terlambat menyadari keadaan Maura, lagi.
Seharusnya kemarin, Aku tidak bertengkar dan mengucapkan beberapa patah kata kasar kepadanya.
Hari kemarin dia tidak mau makan, katanya dia ingin diet supaya berat badannya ideal, karena beberapa netizen mengatakan dia terlihat gemuk di kamera. Aku tidak mengerti, kenapa dia harus melakukan diet jika tubuhnya sudah kurus, bahkan lemak di pipinya yang sudah Aku pelihara dengan susah payah menghilang.
Persetan dengan omongan sampah netizen! Saat itu aku hanya ingin mematahkan jari-jari para netizen yang telah mengomentari Istriku dengan santai tanpa merasa bersalah.
Aku mau tak mau merasa sedikit marah karena Maura mengabaikan kesehatannya. Aku segera menyingsingkan lengan bajuku dan berjalan ke arah dapur, bersiap membuat makanan untuknya.
Tidak butuh waktu lama, Aku kembali ke kamar sambil membawa sup ayam. Aku meraih meja lipat kecil dan meletakkannya di depan Maura. Namun dia tetap menolak membuka mulutnya, melihat sikap keras kepalanya, tanpa sadar menyalakan percikkan api yang berkobar dalam diriku.
Aku berkata, "Jika kamu tidak ingin hidup lalu untuk apa kita bersama? Kamu muak dengan hidupmu namun aku masih harus melanjutkan hidup!"
"Jika kamu tidak mau makan, terserah, Aku tidak akan mengurusmu lagi!"
Setelah itu Aku pergi ke ruang kerja, menyibukkan diri untuk menghilangkan kekhawatiranku, namun tetap saja pikiranku tertuju pada Maura, saat jam menunjukan pukul satu malam, Aku membuka pintu kamar dengan pelan, Aku melirik mangkuk yang tertinggal, untungnya sup ayam itu sudah di makan habis olehnya.
Aku menaikkan selimut ke atas dadanya, saat aku melihat ada bekas air di sudut matanya, Aku terdiam sebentar, mengusap rambutnya beberapa kali dan mengecup keningnya, "Maaf telah membentakmu," kemudian Aku menutup pintu dan kembali ke ruang kerja.
Sebenarnya Aku tidak kembali bekerja, Aku hanya merenungi perbuatanku tadi.
Apakah Aku terlalu kasar tadi?
Namun jika Aku tidak tegas, Aku khawatir dia akan sakit lagi. Aku memijit pangkal alisku, entah kenapa tiba-tiba terasa pening.
_____
Penikmat cerita angst mana suaranya?
Sebenarnya aku ga suka angst, tapi aku suka bikin cerita angst.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Goodbye [END]
Short StorySaat masker oksigen yang menempel pada wajah Kekasihku akan di matikan, Aku bergegas maju dan mengusir beberapa petugas rumah sakit seperti orang gila. "Jangan di matikan..!" "Aku kaya, dan aku punya banyak uang. Beri dia masker oksigen lagi, cepa...