03

8 1 0
                                    

Maura tidak ingin hidup.

Dan ini bukan pertama kalinya.

Dia telah meminum pil, menyayat pergelangan tangannya, dan bahkan mencekik dirinya sendiri dengan kain baju, entah dapat ide dari mana. Kejahatannya begitu banyak, dan terekam jelas di kamera pengintai.

Kali ini dia pintar, dia melompat dari lantai empat. Sial, orang gila mana yang bisa memasang kamera di langit?

Suatu hari, Aku akan melarang arsitek untuk membangun gedung bertingkat.

Atau haruskah Aku merobohkan semua gedung bertingkat di Kota ini?

Ah.. Lupakan. Apa gunanya jika Aku melakukan itu? Lagipula Maura sudah meninggal.

Ngomong-ngomong, malam ketika Maura melakukan percobaan kejahatannya yang pertama, itu adalah malam yang tenang dan sunyi, persis seperti malam ini.

Maura menatap pisau buah yang tergeletak di meja makan untuk waktu yang lama, kemudian entah darimana dia mendengar suara yang menyuruhnya untuk menyayat pergelangan tangannya sendiri.

Darah segar perlahan-lahan mengalir dari tangan rampingnya, Aku yang baru pulang bekerja sontak terkejut, aku bergegas maju dan merebut pisau dari tangannya.

Mata kosong Maura kembali fokus, dia mendongak dan melebarkan matanya, bulu matanya yang lentik dan indah bergetar beberapa kali, sedikit menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan ekpresi di wajahnya.

Dia tidak tampak terkejut melihat kedatanganku, dia hanya menggunakan tatapan dan senyuman yang sama, yang dia berikan padaku berkali-kali sebelumnya untuk berurusan denganku, polos dan naif, dengan jenis senyum yang bukan senyuman.

Maura melihat dan tersenyum seperti ini ketika aku diam-diam menyembunyikan mawar merah di belakang punggungku, dia tersenyum dan melihatku seperti ini ketika Aku mengoceh tentang kesehatannya beberapa kali, dan dia melihat dan tersenyum padaku seperti ini, ketika Aku mengetahui dia diam-diam mencekik lehernya sendiri.

Dokter berkata semua organ dalamnya rusak, jadi kecil kemungkinannya untuk hidup. Setelah mendengar ini, Aku menatap langit-langit rumah sakit, tetesan air mata mengalir di pipiku seperti air sungai.

Sebelum dia melepas masker oksigen, dia tersenyum dengan senyum yang bukan senyuman, polos dan naif, saat itu Aku ingin berteriak kepadanya, memarahinya karena dia begitu mudah menyerah.

Saat di altar pernikahan, kita jelas berjanji akan berbicara jujur satu sama lain. Dan kita jelas berjanji hidup bersama untuk waktu yang lama, namun sekarang dia begitu mudah meninggalkanku tanpa petunjuk.

Aku menahan keluhan di dalam hatiku, lalu Aku mendekat dan memegang tangannya yang pucat, Maura membuka mulutnya dengan sangat pelan dan terbata-bata, tetapi Aku mengerti apa maksudnya.

Mungkin inilah yang membuat Maura mencintaiku, karena hanya Aku yang bisa mengerti dirinya.

Tetapi, jika dia memang mencintaiku, kenapa dia meninggalkanku sekarang?

Mungkin cintanya tidak lebih besar dari keinginannya untuk meninggalkan dunia yang telah memberinya rasa sakit.

Atau mungkin, Aku tidak menunjukkan betapa besar rasa cintaku padanya, sehingga dia berpikir lebih baik meninggalkan dunia ini daripada merepotkanku setiap hari untuk mengurus wanita sakit mental sepertinya.










_______________

Jangan lupa mam..!

Say Goodbye [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang