Bab Empat

384 75 18
                                    

"Kalau kau juga yakin dengan kabar yang beredar, kenapa tadi tidak kau serahkan saja aku kepada warga?"

"LOLOS LAGI!"

Teriakan warga terdengar serupa seruan. Membuat Ali kembali menempelkan diri kedinding balai desa dengan tangan kanan menyisih tubuh Prilly hingga sama tak berjarak dengan dinding kayu tersebut.

Rupanya sang kuyang menghilang. Yang tertinggal hanya obor yang masih menyala sementara sinar merah dari organ tubuh hantu kuyang yang baru saja bergentayangan sudah tak terlihat.

"Kita harus punya strategi baru, agar mahluk itu terjebak, besok kita konsultasikan dengan julak haji Ipul," ucap salah seorang dari mereka menyebut julak haji Syaiful panggilan tetuha (tetua) kampung itu.

"Daripada repot mengejarnya, usir saja jauh-jauh dari sini perempuan itu, toh memang benar sejak dia datang kuyang bergentayangan!" Sahut yang lain.

"Tidak ada bukti, bagaimana kita bisa main hakim sendiri?"

"Lagi pula dia horor betul, setiap senja duduk diayunan, tatapannya kosong, cem bosan hidup."

Obrolan itu makin terdengar menjauh. Ali menoleh kearah Prilly yang juga menolehnya lalu menunduk.

"Apakah kuyang bisa bosan hidup? Padahal ia menuntut ajaran ilmu hitam yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang abadi, dia takkan pernah mati, kalau tak kuat lagi harus ada yang mau menyalin ilmunya!" Gumam Ali seperti pada diri sendiri.

Beruntung pikirannya masih bisa diajak kompromi dengan azas praduga tak bersalah. Ia lulusan hukum, legal lawyer disebuah perusahaan besar. Berapa banyak kasus yang ia bantu baik secara internal maupun eksternal. Antara perusahaan dan pegawai, antara perusahaan dengan mitra-mitra kerja. Apalagi kasus ini  berhubungan bukan dengan manusia, akan sulit kalau hanya bermodal dugaan-dugaan saja.

"Baguslah kalau pikiran anda masih bisa diajak kompromi," bisiknya terdengar jelas karna suasana dini hari dan balai desa berjarak dengan rumah-rumah warga.

"Azas praduga tak bersalah," sahut Ali menegaskan sekaligus menjawab tanya Prilly sebelumnya kenapa Ali tidak menyerahkan dirinya saja kewarga kalau yakin dirinya seperti dituduhkan warga kampung itu.

Netra mereka bertaut kali ini bukan sejenak tapi beberapa jenak. Tatap Ali bukan mengintimidasi meski ia memicingkan mata menyelam kedalamnya. Sedikit cahaya. Remang. Namun lensa itu cukup membuatnya berpikir keras. Terbayang sebelumnya ia menangkap netra yang melebar dengan sekitar mulut dan wajah terdapat percikan merah. Mungkinkah dalam sekejab bisa berubah normal saat kepala dan organ dalam itu kembali ketubuhnya?

"Lawyer biasanya membela yang bayar, tapi sayang saya tidak bisa membayar anda, saya saja terancam dipecat karna mengambil cuti sekaligus 12hari ditahun ini, saat ini sudah hari ke 11, besok harusnya terakhir, namun saya enggan untuk kembali terutama saat ini, bukan hanya karna luka saya belum sembuh namun saya juga, eh--" tutur panjangnya yang sama sekali tak disela Ali terhenti saat tersadar ia dengan mudah mencurahkan isi pikirannya.

Curhat didini hari pada seseorang yang baru saja ia kenal. Itupun tidak berkenalan secara langsung. Hanya dihampiri dengan alasan mencari alamat saat ia duduk diayunan seperti kebiasaannya semenjak menginjakkan kaki dikampung itu.

Kaia benar. Padahal iapun ingin merasakan suasana desa yang alami, jauh dari berisik, melupakan lelaki yang jauh lebih horor dari kuyang baginya.

'Luka?' Ali hanya bermonolog saat Prilly bertutur dan akhirnya menggantung. Nampaknya tujuannya datang kekampung itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan teror Kuyang. Namun, bisa jadi juga ia hanya berkamuflase. Curahan hatinya hanya agar ia tak diduga sebagai mahluk yang menuntut ajaran ilmu hitam untuk mencapai kehidupan abadi itu.

WUSHHHH.
Angin menghembus dari hadapan mereka. Daun yang menampung embun bergoyang menitikkan air. Ali mengusap lengannya yang ditutupi Sweater abu. Sementara Prilly membenahi syal yang dipakainya untuk menghalau dingin.

"Kau keluar dari rumah apa temanmu dan keluarganya tidak curiga melihatmu tidak ada dikamar?"

Prilly tidak menjawab, ia hanya nampak menerawang seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Sebaiknya kau kembali sekarang!"

Ali menarik tangan Prilly dan menyeret langkah mereka dengan mengendap-endap.

"Sebelum azan subuh sebaiknya kau sudah ada dikamarmu, sebab kalau sudah azan, rata-rata bapak-bapak yang ke mushola untuk sholat berjamaah akan keluar rumah!" Ungkap Ali pelan sambil mengendap.

Prilly menarik lengannya dan langkah Ali terhenti.

"Saya bisa sendiri." Lirih ucap Prilly menolak tarikan dilengannya yang menuntut.

"Saya tidak bisa membiarkan perempuan sendirian dalam kondisi seperti ini," jelas Ali tak menerima penolakan.

Dini hari hampir subuh, Ali memperkirakan saat ini hampir pukul empat pagi sejak ia keluar dari rumah karna keributan pukul tiga dini hari tadi, sementara waktu subuh sekitar pukul lima. Angin berhembus menyapu ke wajah mereka yang dingin. Laki-laki sepertinya saja agak ciut, tegakah membiarkan seorang perempuan sendirian ditengah suasana yang mencekam seperti itu?

Ali kembali menarik tangan Prilly dan mengendap-ngendap dengan hati-hati, khawatir masih ada warga yang berada diluar rumah. Seperti terhipnotis, Prilly kemudian mengikuti arah bergerak pria itu dan sejenak menatap erat selipan jari mereka.

BUG!
Ada ya terjatuh dari pepohonan hingga mereka sama terkejut.  Sejenak Ali menghentikan langkah dan kembali netranya siaga. Prilly-pun refleks memeluk lengan Ali karna terkejut. Sejenak Ali menatap pelukan dilengannya. Namun hanya sekejab, sebab ada kekhawatiran suara-suara berisik itu terdengar dan membuat warga curiga lalu keluar rumah kembali hingga Ali menarik Prilly secepatnya berlalu dari tempat itu.

"Disini saja!"

Prilly menahan langkah mereka saat beberapa meter lagi mereka sampai dirumah berhalaman luas dimana Prilly tinggal bersama keluarga Kaia.

"Saya akan antar kamu sampai dirumah, saya yang akan jelaskan ke orang rumah kalau--."

"Mereka tidak tahu saya keluar rumah, saya keluar lewat jendela!"

Speachless sejenak, Ali kemudian menarik Prilly lagi tanpa kata, kali ini menuju lewat belakang rumah.

"Tunjukkan dimana kamarmu! Saya tidak akan tenang kalau belum melihatmu benar-benar sudah sampai dikamarmu dengan aman!" Bisiknya diantara suara jangkrik yang terdengar.

Prilly-pun tidak ingin berdebat lagi. Apa jadinya jika berisik membuat tetangga terusik padahal ia juga tidak ingin ada yang tahu ia keluar rumah didini hari itu.

"Disini?"

Prilly mengangguk sambil menarik dengan ujung jarinya sisi jendela kayu yang membingkai kaca tersebut. Ali mengambil alih jendela dan membantu membukanya lebar-lebar. Cukup tinggi, Prilly berusaha memanjat sisi jendela hingga refleks Ali menahan pinggang dengan kedua tangan agar Prilly mudah melompat dan duduk dibibit jendela sebelum kakinya melompat masuk kedalam. Akibatnya ia tak sengaja melepas daun jendela lalu membentur tubuhnya hingga terdengar bunyi yang keras membuat mereka sama panik apalagi terdengar seretan kaki didalam rumah.

"Pril?"

Mereka berpandangan sebab suara kaia terdengar dari balik pintu kamar. Kemudian mata Ali nyalang memotret sekitarnya, ia begitu cemas, tetangga yang berjarak 5meter dari rumah dimana punggungnya sekarang tak berjarak dibalik jendela.

Ali mendorong tubuh Prilly agar cepat masuk kedalam kamarnya dan menutup jendela.

Tok. Tok. Tok.

"Prilly?"

*********
Banjarmasin,
23.51 Wib
01 Agustus 2024

KUYANG ( Aku Abadi Takkan Pernah Mati)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang