VI

114 22 11
                                    

Orca atau paus pembunuh, mereka besar, sebesar kapal pesiar. Bukan makhluk terbesar yang pernah hidup di lautan, tapi cukup mengintimidasi dari segi ukuran. Tubuh mereka berat, yang terberat mungkin mencapai sepuluh ton. Mata mereka, yang bulat dan hitam, letaknya tepat di depan corak putih di bagian kepala, bergulir mengawasi perairan.

Sebagai predator puncak di lautan, paus pembunuh terkenal cerdas. Mereka berburu dalam kawanan, jumlahnya bisa mencapai tiga puluh individu, dan menerapkan koordinasi yang mematikan. Bahkan duyung dan hiu lokal takut akan keberadaan mereka.

Younghwa, dengan rambut dan ekor merahnya yang mencolok, tidak ingin mengambil resiko dengan menarik perhatian kawanan paus pembunuh yang tengah bermigrasi. Dia menunduk, bersembunyi di antara susunan terumbu karang dengan warna-warni secerah dirinya. Duyung itu menggenggam kantong kulit yang dia bawa erat-erat.

Paus-paus itu melintas tepat di atasnya. Younghwa menghitung jumlah mereka, dua puluh dua ekor, dengan berbagai ukuran. Matanya mengamati perut putih dan sirip biru tua yang bergerak malas.

Dia menunggu sampai mereka jauh meninggalkan perairan sebelum melanjutkan perjalanan pulangnya.

Berenang ke sisi lautan yang lebih dalam, Younghwa kembali pada kuburan bawah laut yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun terakhir.

Sepanjang mata memandang, bangkai kapal tergeletak di dasar laut, saling tumpang tindih. Beberapa masih berdiri kokoh, dengan layar yang berkibar di kedalaman. Sebagian lainnya pecah dan rumpang, tinggal kerangka.

Sekumpulan hiu tulang berenang di atas kuburan kapal. Ketika melihat Younghwa, sebagian dari mereka melarikan diri, beberapa bersembunyi di balik puing-puing kapal. Tahun-tahun berlalu, tapi hiu-hiu itu tidak pernah lupa siapa yang membunuh mereka.

Younghwa tidak melakukannya atas dasar kesenangan atau untuk membuktikan sesuatu. Di masa lalu, ia dan hiu-hiu itu berada dalam situasi yang mendorong mereka untuk bertahan hidup. Perebutan teritori dan lingkar rantai makanan yang seolah tak berujung.

Sosok itu masuk ke salah satu kapal melalui jendela. Di dalam, terdapat kabinet dengan pintu setengah terbuka, deretan botol berisi tanaman herbal yang diawetkan, dan meja panjang dengan segala sesuatu yang berserakan di atasnya.

Younghwa tidak pernah punya waktu untuk merapikan tempat ini.

Dia meletakkan kantong kulit berisi ubur-ubur di meja, dan merobek potongan kain dari tirai jendela untuk mengikat rambutnya. Merunduk, Younghwa mengambil beberapa toples kosong dari lemari bawah.

Ubur-ubur di dalam kantong menggeliat di atas meja. Sementara itu, sang duyung mencari sesuatu untuk mengeksekusi binatang tak bertulang hasil tangkapannya.

Younghwa mencari pisau tulang yang biasa dia gunakan di antara perkakas, tapi tidak menemukannya. Frustrasi. Sosok itu duduk di meja, mencoba mengingat kapan terakhir kali dia melihat benda itu.

Di pantai. Di daratan terkutuk yang bernama Chungju. Dia pasti menjatuhkannya di sana.

Younghwa tidak membuang-buang waktu. Meninggalkan kapal, sihirnya membuat pusaran bawah laut yang dengan cepat mendorongnya ke permukaan. Kepalanya menyembul di atas garis laut. Matanya melirik, memastikan tidak ada kapal di sekitar perairan.

Cahaya bulan yang mengintip dari balik mendung menuntunnya ke tepian. Di sana, Younghwa harus berenang lebih cepat untuk menghindari lampu mercusuar yang sesekali menyorot ke arah lautan.

Ia tiba di ceruk terisolir, di bawah tebing gantung tempatnya bergulat dengan seorang manusia yang dia selamatkan beberapa hari lalu.

Laut tengah pasang, menenggelamkan daratan sempit di bawah tebing. Younghwa mencari pisaunya yang hilang sampai ke bibir gua. Lalu masuk ke dalamnya.

The Silent SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang