VIII

171 25 3
                                    

He Jun memiliki kebiasaan baru sejak dia kembali ke Chungju. Yang pertama adalah mengunjungi gua di bawah tebing gantung setiap beberapa hari sekali. Dia tidak berharap banyak dari perjalanan itu, mengingat entitas misterius yang telah menyelamatkannya tidak sekalipun terlihat di pantai terisolir itu selama beberapa hari terakhir. Yang kedua adalah soal anak-anak jalanan. He Jun lebih memperhatikan mereka belakangan ini. Menghitung jumlah kepala lusuh di kerumunan atau di gang sempit tempat anak-anak biasa berkumpul.

Ketika jumlah mereka bertambah setiap harinya, rasa keprihatinan menelusup di rongga dada. Chungju dan ekonominya sedang tidak baik-baik saja. Namun, ketika jumlah mereka berkurang di hari berikutnya, He Jun didera rasa cemas luar biasa. Dia terus membuat skenario dimana anak-anak itu diculik di malam gulita dan diperdagangkan ke negeri antah-berantah.

Tidak dapat dipungkiri, apa yang  terjadi di Hannam-seon, masih menghantuinya. Dia tidak pernah tahu bagaimana nasib akhir dari orang-orang yang tertawan di kapal itu.

Pagi-pagi sekali, He Jun meniti langkah menuju bendungan. Suasana masih sepi, dia hanya melihat seorang pemuda dengan rambut keriting yang tengah duduk di pinggir bendungan, memancing ikan dengan rokok tersulut di bibir.

He Jun mengabaikan kehadiran pemuda itu dan melanjutkan rutinitasnya. Melepas sepatu dan memanjat pagar bendungan, dia bersiap untuk melompat.

Si pemancing melirik ke arah He Jun, tepat saat ia lompat dari ketinggian. Pemuda bersurai keriting itu serta-merta menjatuhkan tongkat pancingnya, berpikir bahwa seseorang baru saja melakukan aksi bunuh diri.

Dia menengok ke bawah, di mana deburan ombak menghantam tiang-tiang raksasa,  dan menghela napas lega ketika kepala dengan surai kecokelatan menyembul ke permukaan. Pemuda itu menurunkan cerutu di bibirnya dan berteriak. "Hei, Bung!"

Dari atas bendungan, dia melambai ke arah pemuda yang tengah asyik berenang. "Aku hampir berpikir kalau kau bunuh diri!"

Dari tempatnya mengambang di laut lepas, He Jun menggeleng. Dia membalas, "Hanya menyelam!"

Sesaat setelahnya pemuda itu kembali menghilang di bawah permukaan air laut. Cukup lama sebelum dia kembali ke permukaan dengan koin emas terselip di antara gigi-gigi putihnya.

"Berapa lama kau bisa berada di dalam air?" Pemuda di bendungan bertanya.

He Jun mengangkat bahu, mulutnya masih tersumpal koin emas yang dia pungut dari dasar laut.

Pemuda berambut keriting mengeluarkan sesuatu dari saku jaket. Sebuah arloji atau mungkin sebuah stopwatch. "Aku penasaran. Bisakah kau menyelam sekali lagi?"

He Jun mengerutkan kening. Dia memindahkan koin emasnya dari mulut ke saku celana. "Apa untungnya bagiku?"

"Satu koin emas?"

He Jun berdecih dan berkacak pinggang. "Yang benar saja!"

"Dua?" Pemuda itu menaikkan harganya. "Oh, ayolah, tiga?"

"Baiklah!"

He Jun kembali menenggelamkan diri ke lautan. Menyelam mengitari tiang bendungan dan terumbu karang hingga dadanya mulai sesak. Ketika dia kembali ke permukaan, pemuda di atas bendungan memandangnya dengan mulut setengah terbuka.

"Itu lebih dari sepuluh menit!" pekiknya. "Kau separuh ikan atau semacamnya?"

"Mereka menyebutnya paru-paru seorang penyanyi," canda He Jun, "jika kau familiar dengan istilah itu."

Sosok di atas bendungan tergelak hingga sudut-sudut matanya berkerut. Dia menjatuhkan tiga koin yang dijanjikan, dan bertepuk tangan ketika He Jun menangkap ketiganya seperti seekor lumba-lumba yang tengah melakukan atraksi.

The Silent SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang