Tenggelam nyaris terasa seperti mimpi, kecuali sesak di dada dan perih dari goresan peluru terasa begitu nyata.Tidak pernah sekali pun He Jun membayangkan lautan sebagai sesuatu yang mengancam hidupnya.
Tidak bisa melihat, tidak bisa bernapas, tidak bisa berenang. Beban di kaki membawanya dengan cepat ke dasar lautan.
Dia akan mati seperti ini, terkekang di dasar laut. Tubuhnya tidak akan pernah hanyut dan terdampar di pantai Chungju. Tidak ada turis yang akan mengerubungi. Tidak seseorang pun yang akan mengenalinya sebagai musisi berbakat yang pernah menghiasi jalanan Chungju.
He Jun berhenti berontak, merasakan kabut yang bernama kematian semakin mendekat. Napas terakhirnya habis dalam bentuk jeritan marah yang menggelembung ke permukaan, tapi tidak akan pernah didengar.
Dia pikir dia telah kehilangan nyawanya, tapi kemudian dia terbangun bersama air laut yang mengalir keluar dari kerongkongan. He Jun terbatuk dan tersedak, tubuhnya diliputi kebingungan.
Sesaat setelahnya, dia merasakan tekanan, seseorang menindihnya. Ada tangan dingin yang bertumpu di dada, tepat di atas jantungnya yang berdetak. Jemari yang sama dinginnya menyentuh ujung hidung, pipi, lalu turun ke lehernya.
He Jun, masih dengan adrenalin yang berdesir, serta ingatan akan kejadian yang mengancam nyawa, berpikir bahwa tangan itu akan mencekiknya.
Namun, ketika dia mencoba mengejutkan sosok itu dengan membalikkan posisi mereka, telapak tangannya justru menyentuh kulit punggung yang halus. Tanpa pakaian sehelai pun.
He Jun membeku. Ujung telunjuknya merasakan tempat di mana kulit menyatu dengan deretan sisik.
Dalam pergulatan, dia dan sosok misterius itu bersentuhan nyaris dari ujung kaki hingga ujung kepala. He Jun tahu bahwa dia dihadapkan pada sesuatu yang bukan manusia.
Tempat di mana tubuh seseorang semestinya terbelah dan membentuk sepasang kaki, He Jun tidak menemukannya. Hanya ada satu tungkai panjang yang terasa berat, sirip tajam, dan deretan sisik yang seolah tak berujung. Persis seperti patung Danielle yang menggantung di moncong Hannam-seon.
He Jun mengesampingkan keamanan dirinya dengan berhenti memperebutkan dominasi, dan fokus pada ikatan yang menghalangi pandangan. Terdorong oleh rasa ingin tahu. Dia membuka ikatan di bagian belakang kepalanya.
Itu bukan ide yang bagus, karena sepersekian detik kemudian gigitan tajam merobek pundaknya. Sangat dalam hingga dia bisa merasakan ujung gigi taring yang menggores tulang. Darah hangat mengalir keluar, mewarnai kemeja putihnya dengan rona merah muda.
He Jun bisa mendengar beberapa kata yang diucapkan di telinganya. Sebelum semuanya menjadi gelap.
Kesadarannya kembali beberapa saat kemudian, bersama terbit mentari dan ombak kecil yang membelai pipi. Terlepas dari pasir yang menempel di rambutnya dan air laut yang menelusup ke dalam telinga, He Jun menemukan dirinya utuh.
Kemejanya memiliki lubang dan noda darah di beberapa tempat, tapi kulit di bawahnya mulus tanpa luka. He Jun memeriksa rusuk kirinya, mencari bekas peluru di sana.
Nihil. Tidak ada apa-apa.
He Jun pikir dia sudah gila dan membayangkan segalanya. Kemudian, dia melihat sebuah souvernir yang tergeletak di kakinya.
Sebuah pisau yang terbuat dari tulang. Di kedua sisinya terdapat sekumpulan motif menyerupai gulungan awan, atau mungkin ombak, He Jun tidak yakin. Ukirannya dikerjakan dengan sangat presisi hingga dia bisa melihatnya secara detail. Ada sebuah bentuk kapal yang berlayar di antara motif ombak, letaknya di pangkal pisau, dekat dengan lilitan alga yang berfungsi sebagai gagang.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Sea
FantasiJika Younghwa (HRT) tidak punya hati, lantas mengapa dia menyelamatkan He Jun (KJK) ketika pemuda itu dijatuhkan ke laut?