III

143 24 6
                                    

Hannam-seon mungkin saja adalah kapal terbesar yang pernah He Jun lihat. Strukturnya kokoh, mengingat Hannam-seon adalah bekas armada perang yang dimodifikasi menjadi kapal penumpang. Deretan lubang-lubang yang kini merupakan jendela kapal, dahulu adalah lubang meriam yang mematikan.

Menenteng kotak biola dengan pakaian rapi, He Jun berdiri di sisi dermaga bersama kru musik lainnya. Mereka harus menunggu karena para pengangkut belum selesai memindahkan kargo dan barang bawaan penumpang ke lambung kapal.

Matahari bersinar terik, bahkan di pagi hari. He Jun melihat salah satu kru, seorang pria yang usianya mungkin dua kali lipat lebih tua darinya, kesulitan mengangkat kotak cello miliknya.

"Kau perlu bantuan?"

"Tidak, tidak." Pria itu menolak, dan terkekeh. "Cello ini sudah seperti istriku, tidak ada seseorang pun yang boleh menyentuhnya selain aku."

He Jun pikir, itu alasan yang konyol. "Beritahu aku jika kau berubah pikiran."

Situasi pelabuhan ramai terkendali. Di sisi lain dermaga, sebuah kapal baru saja berlabuh. Kereta berdatangan. Kuda-kuda berjejer di lahan parkir, sementara kusir mereka mencoba untuk menemukan para majikan atau mengangkut barang bawaan.

Sementara itu, He Jun menemukan dirinya terpesona oleh patung besi berukuran raksasa yang terpasang di moncong kapal.

Seorang wanita dengan rambut bergelombang yang menyentuh pinggang dan menutupi dada. Bahkan dengan penggambaran yang setengah telanjang, He Jun pikir ada sesuatu yang keibuan tentang cara wanita itu tersenyum. Namun, kesan tersebut buyar dan alisnya bertaut ketika menyadari anomali pada anatomi wanita itu. Bagian bawah perut, yang semestinya terbelah menjadi sepasang kaki, justru menyatu dalam bentuk ekor yang menjuntai ke dasar kapal.

"Belum pernah melihat wanita tanpa busana sebelumnya?" Pria pembawa cello terkekeh dan menyikut lengannya.

He Jun lantas mengelak. "Tidak, aku hanya ... terkejut."

Dari cara orang-orang Chungju menyebarkan cerita urban dan menggambarkan sosok duyung sebagai sesuatu yang jahat dan buruk, He Jun terkejut untuk menemukan satu dari personifikasi mereka yang terpajang begitu indah. Tidak menakutkan sama sekali.

"Wanita itu, dia adalah Danielle. Kau pernah mendengar namanya? Musisi wanita paling berbakat yang pernah menghiasi jalanan Chungju." Pria pembawa cello tersenyum sumringah. Dia berbagai cerita dengan penuh semangat. "Konon katanya, wanita itu tidak bisa bicara. Meski begitu, dia sangat beruntung. Seorang bangsawan Chungju jatuh cinta dan menikahinya."

"Lalu, bagaimana dengan patung itu?" tanya He Jun. "Dan ekornya?"

"Mahakarya yang dikomisikan oleh suaminya dari seorang pematung di negeri seberang. Patung itu adalah alasan mengapa Danielle menerima lamarannya."

He Jun hanya bisa membayangkan jumlah koin emas, dedikasi, dan waktu yang dihabiskan untuk membuat karya seni dengan detail semacam itu.

"Danielle adalah nama asing. Dia bukan berasal dari Chungju?"

Pria dengan rambut yang hampir memutih sepenuhnya, menggeleng. "Tidak ada yang tahu dari mana Danielle berasal. Dia bisu, kau ingat? Wanita itu muncul begitu saja di bibir pantai dan menggemparkan seluruh Chungju. Tapi, coba tebak, mengapa mereka memasang patung wanita itu di sana?"

Sambil mendengarkan kisah yang dituturkan pria itu, He Jun melepas topi di kepala dan menggunakannya sebagai kipas. Matahari pagi ini mulai membuatnya berkeringat.

"Aku tidak bisa memikirkan alasan lain selain dorongan estetika."

"Mereka bilang, jika kau melihat seekor duyung dan hidup untuk menceritakan kisahnya, kau akan mendapatkan keberuntungan."

The Silent SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang