Lonceng di atas pintu masuk pub berdentang, menandakan tempat hiburan yang tengah sibuk itu baru saja kedatangan lebih banyak pengunjung. Tiga sekawan dengan tatanan borjuis, sepatu terpoles, dan rambut beruban tersisir rapi, tergopoh memasuki ruangan. Satu di antara ketiganya berjalan susah payah melewati ruang sempit di antara dua meja karena perut buncitnya.
"Penuh, penuh! Semua mejanya penuh!" keluhnya.
Beruntung, pria tinggi kurus yang lebih dulu memasuki pub telah menemukan satu tempat yang cukup luang. Dia melihat meja mahogani di bagian belakang pub diapit empat kursi, tapi hanya ada seorang pemuda yang duduk di sana.
"Anak Muda, kau tidak keberatan jika kami duduk di meja ini bersamamu?"
Dari dekat, pemuda yang tengah duduk sendirian tampak memiliki wajah rupawan, meski penampilannya berantakan, bajunya lusuh, dan rambutnya terurai liar. Perihal pertanyaan yang baru saja diajukan, sebenarnya dia sangat keberatan. Namun, sebelum ia bisa membuka mulut, tiga pria itu duduk begitu saja di mejanya.
Menghela napas, dia membiarkan tempatnya dijajah. Pemuda itu bahkan cukup pemurah untuk membuat ruang dengan memindahkan kotak biola miliknya dari meja ke lantai.
"Hey, aku mengenalmu." Salah satu dari tamu tak diundang, pria dengan kumis yang dicukur persegi, menunjuk padanya. "Si Pemain Biola! Ho, aku tidak tahu kau sering mengunjungi tempat ini?"
Pemuda yang memainkan biola, He Jun, meneguk soju langsung dari botolnya. Kehadiran orang-orang ini membuatnya pening.
"Ini pertama kalinya aku datang," ungkapnya.
"Oh, Nak, kau minum seperti ikan." Pria dengan kacamata bundar, yang duduk di sebelah He Jun, memandang dengan sorot khawatir. "Ginjalmu mungkin akan copot sebelum hari berlalu."
Mendengar pemilihan kata yang tidak biasa dari pria itu, He Jun mendengkus. "Ikan," katanya, kemudian tertawa geli.
Di seberang He Jun, pria botak dengan perut membuncit tergeletak keras. "Astaga, dia benar-benar mabuk."
"Aku tidak mabuk," bantah He Jun. "Hanya sedikit frustasi."
"Ho, emosi masa muda." Pria berkumis menyambar segelas minuman dari seorang pramusaji yang kebetulan lewat. "Jangan memendamnya, ceritakan pada kami!"
"Ya, ceritakan masalahmu." Pria dengan kacamata lalu membuat gestur mengejek ke arah dua temannya dan berseloroh. "Pria-pria tua ini perlu hiburan!"
Mendengar itu, pria buncit yang rupanya bersumbu pendek menjadi tersinggung. Dia menggebrak meja, keras, membuat hampir seluruh pengunjung menoleh ke arah mereka. "Siapa yang kau sebut tua?!"
Sosok termuda di antara keempatnya, lagi-lagi menghela napas. He Jun punya firasat bahwa orang-orang tua ini akan membuatnya diusir dari pub bahkan sebelum dia menghabiskan botol sojunya.
Wanita usia tiga puluhan, seorang pramusaji, datang ke meja sebagai penyelamat He Jun. Dia membawa pena dan buku kecil untuk mencatat pesanan. Kehadirannya membuat suasana kembali cair. Pria dengan perut buncit segera melupakan rasa marahnya. Dia memperbaiki posisi dasi kupu-kupu di lehernya, berbasa-basi sebentar soal menu makanan yang disajikan, dan bertanya pada wanita itu apakah dia seorang janda.
Mendengar pertanyaan yang terlampau frontal itu, He Jun terbatuk, nyaris menyemburkan alkohol di mulutnya.
Di saat yang hampir bersamaan, pria berkumis tiba-tiba memekik. "Aduh!"
Dia menunduk, memeriksa kolong meja, lalu memandang curiga pada tiga orang yang duduk di meja bersamanya, termasuk He Jun. Pria itu bertanya dengan nada menuduh. "Siapa yang menendang kakiku?!"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Sea
FantasyJika Younghwa (HRT) tidak punya hati, lantas mengapa dia menyelamatkan He Jun (KJK) ketika pemuda itu dijatuhkan ke laut?