1. Anak yang Terlahir Malang

27 7 2
                                    

Bismillah, Astaghfirullah. bdbd




☆ ☆ ☆

Telapak kaki mulus beralaskan sendal lusuh melangkah pelan melewati jalan setapak hutan menuju perbukitan. Di sekeliling terasa sunyi, hanya terdengar suara angin yang berbisik di antara dedaunan dan kicauan burung dari kejauhan.

Jalan ini, jalan yang selalu menjadi tempat pelarian Laura saat hatinya dipenuhi kesedihan dan kebingungan atau hanya sekedar tempat untuk menenangkan pikiran.

Gadis itu menghela nafas panjang, ia merasakan pundaknya begitu banyak beban. Ternyata, jalan yang menanjak tidak jauh lebih berat daripada kenyataan hidup.

Di depan sana, sekelompok anak-anak bermain dengan tawa menggema di udara. Mereka terlihat bahagia, tanpa menyadari masa mendatang yang bahkan telah ditentukan oleh latar belakang orang tua mereka.

Laura tiba-tiba teringat pada masa kecil, ketika ia masih bisa bermimpi dan berharap. Namun, seiring berjalannya waktu, mimpi itu seolah pudar oleh realitas hidup yang kejam.

Selang beberapa menit, gadis itu sampai di titik tertinggi perbukitan. Ia berjalan mendekati pohon besar yang biasa dijadikannya tempat bersantai untuk kemudian dia duduki salah satu akarnya. Dari tempat ini, ia bisa melihat seluruh desa. Desa yang penuh dengan tradisi kuno yang mengikat kehidupan setiap orang, terutama perempuan.

Baru beberapa detik duduk, sesuatu mengenai kepala Laura, mengakibatkan kata 'aduh' keluar dari mulutnya.

Ia mendongak ke atas usai menengok yang terjatuh di kepala merupakan apel yang telah digerogoti, berniat melihat siapa gerangan yang sudah jahil menimpuk kepalanya.

"Lucas!" serunya jengkel. Ia kemudian berdiri untuk melihat lebih jelas pemuda yang masih nangkring di dahan pohon tersebut.

Pemuda yang disebut Lucas menutup mulut menggunakan tangan secara dramatis. "Oops! Maaf, Kakak. Aku tidak melihat kehadiranmu di situ."

Laura berdiri seraya berkacak pinggang, alisnya menukik tajam. "Turun sekarang! Jangan bersikap tidak sopan dan minta maaf yang benar!"

Pemuda yang memanggil Laura sebagai kakak itu menggigit apel lain di tangannya dengan ekspresi tengil. "Haruskah?"

Laura semakin dongkol, ia memungut kerikil dari tanah dan melemparkannya ke arah Lucas. Batu kecil lalu melesat cepat, hampir mengenai kepala si pemuda bertubuh tinggi.

"Hey, hey! Berhenti! Nanti wajah tampanku bisa penyok kalau kena lemparan batu!" Lucas merunduk, menghindari lemparan berikutnya dengan senyum tengil di wajah.

Laura mendengus sebal. "Itu kalau aku tidak mengincar dengan tepat! Sekarang turun, atau aku akan menggunakan batu yang lebih besar!"

Ancamannya justru membuat sang adik tertawa mengejek. Merasa kesal, Laura mengambil batu lain lalu melemparkannya dan berhasil mengenai bahu Lucas yang seketika mengaduh kesakitan.

"Apa kau juga mau alas kakiku melayang?"

Lucas sontak menggeleng heboh. "Ah, tidak, tidak! Jangan! Aku akan turun!"

"Cepat!"

Karena tau sang kakak tidak pernah main-main dengan perkataan, Lucas segera melompat turun ketika mencapai dahan terendah pohon. Kini terlihat jelas perbandingan tubuh mereka setelah saling berhadapan, ia tampak jauh lebih besar dibanding Laura kendati gadis itu tergolong tinggi untuk ukuran rata-rata perempuan di tempat mereka.

Lucas berdecak, menatap dalam pelukan lengan sang kakak terdapat sebuah buku tebal yang tampak berat. "Kakak kenapa tidak belajar di rumah saja, sih? Kenapa suka sekali di sini? Seperti penunggu pohon saja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AmazonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang