Kim Jisoo adalah gadis berambut hitam panjang dengan mata hitam yang indah, berparas cantik layaknya putri dari dalam dongeng-dongeng lama yang menjelma menjadi nyata. Dia sudah merebut hati Kim Seokjin sejak awal takdir mempertemukan mereka. Jisoo adalah seorang psikiater handal bergengsi dan diakui sebagai salah satu dokter kejiwaan terbaik di Seoul. Jisoo cerdas, cantik, anggun, dan berkarakter, sosok yang terlalu sulit untuk dijangkau siapapun.
Semua ini dimulai tiga tahun yang lalu, sejak proyek pembangunan resort Kim Company di Jeju pertama kali mempertemukan Kim Seokjin dan Kim Suho dan menuntut mereka untuk berkerja sama. Seokjin baru saja kembali dari luar negeri setelah bertahun-tahun, dan saat itulah ia bertemu dengan Suho, saudara tirinya, anak dari istri kedua ayahnya. Dan pertama kalinya ia melihat sosok murni itu, yang selalu berkunjung atau mengekor pada Suho.
Sejak pertemuan tersebut, Seokjin tidak sadar ada debar yang menuntutnya untuk ingin mengenal Jisoo lebih dan lebih dekat lagi. Namun, setelah hampir enam bulan mengenal sang gadis, debar asing dan aneh itu terbantahkan oleh satu fakta, dia sudah bertunangan. Bagaimana perasaan Seokjin? Ah, sudahlah, tak perlu ditanya lagi, bagaikan memiliki tunas-tunas muda yang belum berkembang dan hancur terinjak-injak begitu saja.
Miris? Seokjin tidak suka dikasihani.
Terkadang gadis itu akan datang ke kantor ataupun lokasi proyek untuk membawakan Suho makanan, atau sekedar menonton diam-diam dari jauh seperti tadi yang ia lakukan. Setiap detik kehadiran sang gadis tak pernah absen dari rekaman retina Seokjin.
Seokjin berpikir mungkin ini hanya karena ia penasaran, bagaimana mungkin ada kecantikan sejati tanpa banyak make up berlapis dan aksesoris bertingkat yang dipakai gadis itu.
Alami.
Itu adalah kesan yang terus melekat di pikirannya. Ya, mungkin saja karena di mata Seokjin, gadis itu berbeda, makanya ada sisinya yang ingin lebih dekat (dalam artian lebih dekat sebagai teman mungkin?). Ya, semua jenis hubungan juga terkadang berawal dari teman, 'kan?
Namun sampai akhir proyek selesai pun, ia tak pernah berkomunikasi secara khusus dengan Jisoo, karena interaksi mereka tak lebih dari sekedar tukar tatapan atau senyuman, atau lagi mengobrol ringan sebentar dan terkadang hanya bertukar sapa sejenak. Dan kalau proyek itu selesai, tak ada cara bagi Seokjin untuk bertemu dengannya, 'kan?
Lalu bagaimana kalau misalnya Seokjin ingin melihat senyuman gadis itu? Atau sekedar mendengar tawa merdu yang terlantun dari bibirnya. Kecil kemungkinan untuk mereka bisa bertemu dan berselisih jalan, dan mereka tidak sedekat itu hingga bisa bertukar kontak atau pergi hangout bersama kecuali Suho mengajak Jisoo saat ada pesta tertentu, itupun hanya ada 0,0002% kemungkinan, dan sisanya harapan semu.
Awalnya ia berpikir, "ini bukan masalah besar, hanya perasaan sesaat. Toh, lambat laun perasaanya akan terhapus dengan sendirinya."
Tapi hingga nyaris tiga minggu kemudian, Seokjin tak sanggup mengatakan kalimat itu pada sosok di pantulan cermin kamar mandinya yang terlihat begitu berantakan, itu dirinya sendiri. Seokjin merasa tak pernah sekacau ini karena seseorang, tidak pernah merasa sedepresi ini hingga Seokjin takut kalau ia akan gila dalam waktu singkat.
Ya, gila karena benar-benar memuja gadis bermata hitam itu nantinya.
Berbekal rasa ketakutan itulah ia diam-diam menghubungi Jimin, salah satu rekan kerjanya di kantor sekaligus sahabatnya, dan bertanya di mana ia bisa menemukan seorang psikiater handal.
"Dia yang terbaik di Seoul, Seokjin!"
Kata-kata Jimin menuntun Seokjin sampai di depan pintu bercat coklat keemasan, ia sudah membuat janji sejak seminggu yang lalu. Seokjin tak yakin apakah perasaan tertekan dan rasa sesak yang dialaminya ini termasuk gangguan kejiwaan, tapi berbaring di dalam kamar berhari-hari tanpa mau peduli dengan apapun lagi sukses membuatnya melakukan aksi ini itu yang menyusahkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
She is the Unreachable [JINSOO]
RomansaSeokjin menyadari bahwa wanita itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari dirinya, dia adalah jantung yang mengatur setiap denyut nadinya, dia adalah oksigen yang memberi napas pada paru-parunya. Namun, dirinya hanya sebuah persinggahan sementara...