Prolog

5.6K 368 63
                                    

[Bagian dari Klandestin Universe— cek daftar bacaan]

‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙

Merindukan adalah perasaan yang begitu rumit, merayap perlahan seperti kabut pagi yang enggan menghilang. Ketika rindu itu datang, ia meresap ke dalam jiwa, menyelubungi setiap sudut hati dengan kelembutan yang menyakitkan. Rasanya seperti mendengar gema dari tawa yang pernah ada, namun kini hanya menyisakan kesunyian.

Rindu menyentuh seperti angin sepoi yang membawa aroma nostalgia, menggugah kenangan-kenangan lama yang tak pernah benar-benar hilang. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat, seolah waktu berkonspirasi untuk membuat jarak semakin terasa. Hati berdenyut dalam irama yang tak beraturan, setiap degupnya menggema dengan harapan akan sebuah pertemuan.

Dalam kesunyian malam, rindu berubah menjadi sahabat setia yang menemani hingga fajar menyingsing. Ia menyusup dalam setiap hembusan napas, menyelipkan rasa hampa yang hanya bisa diisi oleh kehadiran yang dirindukan. Rindu adalah perjalanan tanpa arah, sebuah pencarian dalam labirin emosi yang tak berujung.

Ghea merasakannya setiap hari. Setiap pagi, saat sinar matahari menembus jendela kamarnya, ia teringat pada senyum yang pernah membuat harinya begitu cerah. Setiap malam, ketika kesunyian mengisi ruangan, hatinya selalu terbang ke Singapura, di mana pujaan hatinya itu berada.

Mencintai seseorang yang mungkin telah melupakannya adalah perasaan yang menghancurkan. Namun, Ghea tahu bahwa perasaan ini adalah bagian dari dirinya yang tak bisa ia cegah atau hapus begitu saja.

Duduk di kursi kamarnya, dengan napas berat, Ghea membuka halaman pesan di ponselnya, mencari percakapan terakhir mereka. Pesan terakhir dari Arga muncul di layar, bertanggal satu tahun lalu, 1 Agustus 2025.

“Ghea, Kakak minta maaf, Kakak harus pergi.” Pesan itu adalah pamit yang singkat, tapi berhasil meninggalkan Ghea dengan sejuta pertanyaan tanpa jawaban.

Setahun telah berlalu sejak pesan itu diterima, dan selama itu pula Ghea tidak pernah mendengar kabar dari Arga. Setiap kenangan bersama Arga kembali menghantuinya, seperti film lama yang terus berputar di benaknya. "Kak Arga inget aku nggak ya?" pertanyaan itu selalu berulang di pikirannya, menciptakan kerinduan yang tak kunjung padam.

Ghea menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan manis yang kini terasa begitu jauh. Meskipun hatinya hancur, ia tetap berharap bahwa suatu hari, takdir akan mempertemukan mereka kembali, dan semua pertanyaan yang mengganjal di hatinya akan terjawab.  Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu, mengalihkan perhatiannya dari lamunannya.

"Iya?" sahut Ghea, suaranya terdengar lelah.

"Ini Abang," jawab suara yang sangat dikenalinya dari balik pintu.

"Bang Dimas?"

"Iya lah, kan Haikal di Surabaya."

"Siapa tau tiba-tiba pulang, Ghea kangen tau," gumam Ghea dengan nada rindu yang jelas terdengar. Dia bangkit dari tempat tidurnya, gerakannya lamban seolah setiap langkah memerlukan usaha ekstra.

Saat mencapai pintu, tangannya terulur dan memutar gagang pintu perlahan. Pintu itu berderit sedikit saat terbuka, dan di sana berdiri Dimas dengan senyum hangat yang biasa ia tunjukkan.

Dimas memandang adiknya dengan tatapan bingung. "Ghea, lo kenapa? Kelihatan capek banget," tanya Dimas, mencoba membaca ekspresi wajah Ghea yang tampak muram.

"Capek dikit. Cuma lagi banyak pikiran aja, kangen bang Haikal juga. Dia kapan pulang, Bang?"

"Telpon aja, lo suruh dia pulang sekarang paling juga dia gas aja. Secara lo adek kesayangan dia," jawab Dimas dengan nada yang berusaha menghibur.

BRIDGING HEARTS  [ONGOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang