Malam yang tenang di Singapura, suasana kota yang sibuk perlahan mulai mereda. Gedung-gedung pencakar langit yang mempesona tampak seperti siluet di bawah cahaya bulan yang lembut. Di dalam salah satu apartemen yang terletak di lantai tinggi, Arga akhirnya tiba di unitnya setelah hari yang panjang dan melelahkan.
Ia membuka pintu apartemennya dengan gerakan lambat, terhuyung sedikit karena kelelahan. Kemeja hitam yang dikenakannya tampak kusut setelah seharian terjepit di balik jas hitam yang kini hanya tergantung longgar di pundaknya. Dengan langkah yang berat, ia melangkah menuju sofa yang empuk di ruang tamu. Setibanya di sana, Arga membanting tubuhnya dengan lemas, seolah seluruh berat hari itu terlepas bersama dengan posisi tubuhnya yang merosot di permukaan sofa.
Cahaya bulan yang menembus jendela besar memancarkan kilauan lembut pada rambut pirangnya. Dari sofa, pandangannya tertuju pada kota yang bersinar di luar jendela. Namun, pikirannya masih melayang kembali ke acara dinner party yang baru saja dihadirinya. Momen-momen sosial yang dipenuhi dengan percakapan bisnis dan senyum formal kini terasa jauh, hanya menyisakan hanya rasa letih.
Dengan gerakan lamban, Arga memutar kepala ke arah sisi sofa, lalu mengalihkan pandangan ke arah ruang tamu yang tertata rapi. Namun, tidak mampu menghapus rasa penat yang menyelimutinya. Di sela-sela desahan napasnya, bibirnya perlahan membentuk kata-kata yang terdengar seperti bisikan yang meluncur dalam getaran pelan.
“Kenapa gue jadi sekeras ini sama diri sendiri?” gumamnya, suara rendahnya hampir tenggelam dalam keheningan apartemen. Dahi Arga berkerut, sementara matanya yang lelah memandang jauh, seolah berharap ada jawaban yang bisa ditemukan di luar sana. Setiap kali ia menggumamkan pertanyaan itu, suaranya menyusut, seolah menyadari bahwa jawabannya mungkin tidak akan pernah datang dengan mudah.
Setelah mematung beberapa saat, Arga perlahan bangkit dari sofa. Ia membuka pintu kaca yang menghadap ke luar, dan udara malam yang sejuk segera menyambutnya. Ia melangkah keluar dan berdiri di tepian balkon, tatapan matanya langsung tertuju pada langit malam yang dihiasi dengan taburan bintang yang berkilauan.
Dengan jari-jari tangan yang membeku di udara dingin, Arga memegang pagar balkon, menyandarkan tubuhnya sambil memandang dengan kekaguman pada bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ekspresi wajahnya perlahan-lahan berubah, dari tatapan kosong menjadi sebuah senyuman lembut yang perlahan menghiasi bibirnya.
Sambil tersenyum, Arga bergumam pada dirinya sendiri dengan nada penuh rasa ingin tahu dan kehangatan, "Dia tau nggak ya kalau malam ini bintang lagi cantik banget?" Kata-kata itu meluncur saat ia teringat pada gadis yang sangat menyukai bintang.
Rasa bersalah tiba-tiba kembali datang menyapu wajahnya, menggantikan senyuman lembut yang sebelumnya menghiasi bibirnya. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha mengusir rasa sesak di dadanya.
Gerakan Arga menjadi lambat dan berat. Ia menundukkan kepala, tangan yang sebelumnya memegang pagar balkon kini diletakkan di saku celananya. Wajahnya yang tertutup bayangan malam terlihat penuh dengan keraguan dan penyesalan. Setiap kali pikirannya kembali ke hari itu, matanya tampak semakin muram, seperti merasakan beban berat yang terangkat dari masa lalu.
Di dalam pikirannya, ia kembali ke momen saat ia menyatakan perasaannya kepada Ghea. Suasana itu kembali hidup dalam benaknya—Ghea yang menoleh dengan tatapan bingung dan pertanyaan di matanya, dan Arga yang dengan terbuka menyatakan, “Telat nggak sih, Ghea, kalo Kakak suka sama kamu sekarang.”
Saat mengingat kejadian tersebut, Arga merasakan senyum pahit terukir di wajahnya. “Harusnya gue malu nggak sih karena masih aja ngarepin cinta Ghea padahal gue yang ninggalin dia?” gumamnya, hampir tidak terdengar di tengah kesunyian malam.
Ia menarik napas dalam-dalam, dada terangkat seiring dengan pengakuan yang akan keluar dari bibirnya. Dalam bisikan yang hampir menyatu dengan angin malam, ia mengucapkan, “Ghea, Kakak minta maaf.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDGING HEARTS [ONGOING)
Roman d'amourBagian dari Klandestin Universe Connecting hearts despite physical distance. "True love doesn't know the distance. It only knows a strong connection that transcends space and time."