Erine berjalan ke arah tempat tidurnya, entah kenapa badannya terasa sangat lelah. Gadis itu baru saja selesai mandi. Ia masih penasaran bagaimana gadis bernama Oline itu bisa tau persis dimana letak rumahnya.
Jujur ini sedikit menyeramkan. Bagaimana kalau gadis itu sebenarnya adalah psikopat yang sudah menargetkan dirinya dari lama seperti di film-film? Pasalnya, Erine kenal saja tidak. Tapi gadis itu seakan tau segalanya.
Mau bagaimana lagi, Oline adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya untuk saat ini. Ia tidak bisa menghubungi siapapun. Dompet dan ponselnya saja hilang. Semua uang dan kartu atm yang dimilikinya ada di dalam dompet itu.
Ingin mengurus pun bingung sebab kartu identitasnya pun berada di dompetnya yang hilang itu. Erine menggelengkan kepalanya frustasi. Sepertinya dia akan mengurus semua itu setelah ayahnya pulang. Merebahkan badannya ke kasur, lalu melamun sambil memandangi langit-langit.
Ada banyak hal yang gadis itu pikirkan, namun Lana lah yang paling ia pikirkan. Rasa bersalahnya tak kunjung pudar, dan mungkin tak akan pernah hilang. Penyesalan benar-benar menghantuinya.
"Haaahhhh.." Erine menghela nafasnya lelah.
Setetes air mata mengalir melewati pipinya. Erine sangat menyayangi Lana. Hanya Lana yang selalu ada untuknya. Bahkan lebih dari ayahnya sendiri.
Sejak kecil, Erine tidak pernah benar-benar memiliki teman. Erine kecil kerap kali di ejek dan dibully oleh anak-anak lainnya karena tidak memiliki ibu.
Ayah Erine dan Ibu Erine bercerai setelah berulang kali sang Ibu ketahuan selingkuh oleh Ayahnya. Zeedan tentu muak dengan kelakuan sang istri yang kerap membuatnya malu. Keduanya memang menikah bukan atas dasar cinta, melainkan paksaan orang tua mereka.
Erine juga bukan anak yang mereka inginkan, Erine ada karena sebuah ketidaksengajaan. Saat itu kebetulan keduanya pulang bersamaan dengan keadaan mabuk. Bukan hal baru bagi Erine jika ia merasa ditelantarkan. Karena pada kenyataannya, memang secara tidak langsung Erine ditelantarkan.
Meskipun begitu, Erine masih bersyukur karena Zeedan masih memenuhi dan memfasilitasi kebutuhannya meskipun ia tidak pernah merasakan kasih sayang darinya.
Ashel, sang ibu, Erine sudah tidak tau dimana wanita itu berada. Terakhir kali mereka bertemu ketika umurnya masih 4 tahun. Erine juga tidak banyak berbicara pada ibunya karena takut. Ashel kerap kali membentak dan meneriakinya tiap ia berusaha mengajaknya bicara.
Erine tumbuh besar bersama para art yang bekerja dirumahnya, dan juga Lana.
Erine ingat sekali, saat itu ia hampir menangis karena terpojokkan oleh sekumpulan anak-anak yang terus menghinanya. Kala itu Lana dengan berani berteriak dan menarik mereka satu persatu, memarahi mereka sehingga mereka lari dan tidak lagi mengganggu Erine.
"Jangan sedih! Mereka emang jahat, kamu mau main sama aku aja nggak?"
Erine tertawa sendiri mengingatnya, saat itu rambut Lana masih bondol dengan gigi depannya yang hilang. Mengulurkan tangan kecil miliknya kepada Erine.
Entah bagaimana Erine langsung akrab dengannya. Bermain bersama di taman depan tadika, sampai lupa waktu dan akhirnya Aldo mengantarnya pulang. Mereka bahkan baru berkenalan setelah keesokan harinya.
"Kamu! Kita belum kenalan loh!" Lana memajukan bibirnya lucu.
Erine menggaruk kepalanya sambil menyengir, "Namaku Catherine." ia mengulurkan tangan.
Lana tersenyum lalu dengan semangat menjabatnya, "Bagus banget nama kamu! Namaku Aurhel Alana." gadis kecil itu tersenyum sombong.
Erine ikut tertawa, "Namamu juga bagus, aku panggil kamu apa?"
"Lana aja, biar keren!"
"Oke Lana!"
"Kalo kamu aku panggil Erine aja boleh nggak? Namamu bagus, tapi susah disebut."
Erine hanya mengangguk-angguk menyetujui, sedangkan Lana bersorak gembira. Keduanya kemudian berjalan beriringan sambil saling menggandeng tangan.
Keduanya menjadi tak terpisahkan, terlebih saat Erine mengetahui bahwa Lana memiliki penyakit jantung bawaan. Ia bertekad menjadi orang yang kuat untuk berbalik melindungi Lana. Terbukti kini dirinya sudah menyandang sabuk hitam taekwondo. Yang memang niat utamanya agar ia bisa melindungi Lana.
Dimana ada Lana, disitulah Erine berada. Erine tidak akan pernah membiarkan Lana sendirian. Orang awam mungkin akan mengira mereka kakak beradik. Walaupun memang bagi Erine, Lana sudah seperti saudara kandungnya sendiri.
Semenjak ada Lana, Erine merasa hidupnya menjadi berkali-kali lipat lebih baik. Erine tak peduli apapun yang dilaluinya, asal ada Lana disampingnya.
"Hey, bengong terus!"
Erine terperanjat, melompat dari tempat tidurnya setelah matanya menangkap seseorang yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu kamarnya.
"Astaga!" Erine mengelus dadanya. Oline terkikik kecil melihatnya.
"Lo gila ya? Masuk-masuk rumah orang tanpa izin? Dapet kuncinya darimana coba?" Erine menyerbunya.
Oline hanya mendesah lelah, "Haduh Erine Erine."
Erine menaikkan sebelah alisnya bingung. Apa-apaan sih gadis di depannya ini? Sudah sembarangan masuk rumah orang dan sekarang menatap dirinya seakan-akan dia yang bersalah?
"Gak usah bingung. Nanti juga kamu tau sendiri. Aku cuman mau ngasih tau, Lana udah sadar. Kamu mau aku anter liat Lana gak?" tanya Oline.
Lana sadar? Erine mengembangkan senyumannya.
"Lo serius?" tanyanya semangat.
Oline mengangguk, "Aku tunggu dibawah ya."
Erine menatap punggung Oline yang menghilang dibalik pintu kamarnya. Sebenarnya Erine masih sangat-sangat bingung dengan gadis asing itu. Banyak pertanyaan di kepalanya. Namun yang terpenting sekarang hanyalah Lana. Dan satu-satunya orang yang dapat membantunya hanyalah Oline.
Ia akan mencari tau semuanya setelah ia memastikan keadaan Lana.
=====
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Alana!
Short StoryApapun itu, asalkan untuk Alana, Erine akan melakukannya. Disclaimer : Semua yang ada disini cuman fiksi, bukan cerita perkapalan gxg jadi jangan berharap lebih, harap bijak dalam membaca. Sebenernya ini cerita iseng aja karena susah nyari wattpad l...