4. Kenyataannya.

230 32 4
                                    

Erine berlarian di lorong rumah sakit. Tak peduli dengan nafasnya yang sudah tak beraturan. Ia hanya ingin cepat-cepat melihat Lana. Oline yang berada dibelakangnya berkali-kali mencoba memanggilnya namun tak di dengar.

"Duh, larinya cepet banget sih bocah itu!" keluh Oline.

Sesampainya di taman rumah sakit, Erine tidak dapat menahan senyumannya. Ia benar-benar tidak sabar untuk bisa berbicara kembali dengan Lana. Matanya segera mencari keberadaan gadis itu.

"LANA!!" teriaknya dengan semangat.

Erine menghampiri cepat gadis yang duduk di atas kursi roda itu. Wajahnya sumringah. Ia benar-benar merasa senang Lana terbangun. Ia berjongkok di samping gadis itu.

"Lan! Akhirnya lo bangun, gue kangen banget sama lo." mata Erine benar-benar berbinar.

Namun Lana tak menoleh ke arahnya, membuat Erine sedikit tertegun.

"Lan?" panggil Erine namun tak ada jawaban, gadis itu setia menatap kosong kedepan.

Erine mengeceknya, pipi gadis itu basah. Lana menangis.

"Lana?" panggilnya lagi namun tetap tak ada sahutan dari gadis itu.

Bahu Erine seketika merosot, sepertinya Lana sudah mengetahui bahwa ia lumpuh. Tangannya segera memegang tangan Lana.

"Lana.. maafin gue.." ucapnya lirih namun Lana sepertinya sama sekali tak ada niatan untuk berbicara kepadanya.

"Lan—"

"Suster, saya mau balik keruangan saya." belum sempat Erine melajutkan ucapannya, Lana mengeluarkan suaranya.

Sang perawat mau tak mau menuruti keinginannya dan mendorong kursi roda Lana untuk kembali ke ruangannya.

"Alana tunggu!" berkali-kali Erine mencoba memanggilnya namun sama sekali tak membuat Lana berhenti.

Erine berteriak frustasi. Memijat keningnya merasa stress. Namun ia berfikir bahwa ia memang harus menerima resikonya. Oline yang baru saja datang pun segera menghampiri dirinya.

"Gimana?" tanyanya.

"Dia gak mau ngomong sama gue, line." Erine mengusap wajahnya lelah, sedangkan Oline menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Itu karena—"

"Iya gue tau, karena gue yang bikin dia lumpuh." Erine memotong ucapan Oline.

Membuat Oline berdecak kesal, "Dengerin dulu, Erine!"

"Gue harus coba ngajak dia ngobrol lagi. Gue harus minta maaf!" Erine segera melangkahkan kakinya, tak mempedulikan Oline yang hendak bicara.

Oline lagi-lagi mendesah pasrah, mau tak mau ia membuntuti Erine dari belakang. Hingga sampailah keduanya di depan ruangan Lana. Erine mematung menyaksikan Lana menangis dan meraung lewat jendela kaca ruangan itu.

Terlihat Lulu dan beberapa perawat berusaha keras menenangkan gadis itu. Lana melempar semua barang yang berada di dekatnya. Erine merasakan tenggorokannya tercekat. Hatinya nyeri melihat Lana seperti itu.

"GAK MUNGKIN BUNDA! GAK MUNGKIN! AKU GAK MAU!"

Bahkan teriakan Lana terdengar hingga keluar ruangan. Erine menatapnya sendu.

"Segagal itu gue jagain lo, Lan." ucapnya dengan suara parau, kepalanya menunduk, air matanya mengalir.

"Lana bukan sedih karena itu." sahut Oline disampingnya, Erine yang mendengarnya justru geram, tangannya mengepal kuat.

"LO SIAPA SIH HAH?"

Oline jelas terkejut, gadis itu kini menatapnya marah. Tapi Oline sudah memprediksi ini akan terjadi.

"DARI AWAL LO CUMAN ORANG ASING! KENAPA LO DATENG-DATENG SOK TAU? STOP MUNCUL DAN BERLAGAK SEAKAN-AKAN LO TAU SEMUANYA!" Erine meledak, namun hal itu tak membuat Oline lepas dari sikap tenangnya.

"Aku emang tau semuanya, Erine." ucap Oline santai, Erine sudah mengangkat tangan hendak mengeluarkan kata-katanya kembali namun Oline lebih dulu bersuara.

"Aku bakal ngasih tau semuanya, tenangin diri kamu dulu. Kita ke taman lagi, aku jelasin semuanya disana." putus Oline kemudian pergi meninggalkan Erine terlebih dahulu.

Erine masih kesal, namun ia penasaran sehingga tetap mengikuti Oline dibelakang. Kembali lagi ke taman belakang rumah sakit, kali ini langkahnya terhenti saat ia melihat sosok yang dikenalnya.

"Papa?" Erine kebingungan.

Zeedan, ayahnya itu terlihat sedang berbincang dengan Aldo.

"Masih inget buat balik lo?" ucap Aldo dengan nada sarkas.

Zeedan tak menjawab, dari raut wajahnya terlihat kesedihan. Erine berpikir, Aldo marah pada Ayahnya karena dirinya. Lana celaka karenanya.

Erine ingin menghampiri keduanya, namun Oline menahan tangannya.

"Tunggu disini dulu, biar kamu tau." ucap Oline.

Aldo merogoh kantongnya mengambil sebuah benda untuk diserahkan kepada Zeedan. Erine membelo setelah melihat apa yang di pegang oleh Aldo.

"Punya Erine." ucap Aldo datar.

"Kok dompet sama HP gue ada di Om Aldo?" Erine bertanya-tanya.

Ponsel miliknya itu terlihat sudah hampir hancur. Dompetnya juga sedikit rusak. Zeedan menerima barang tersebut.

"Lo gak pantes disebut Ayah, Zee." setelah berucap seperti itu Aldo meninggalkan Zeedan yang masih tak bergeming, melamun menatapi ponsel dan dompet milik Erine.

Hal itu jelas membuat Erine bingung. Ia ingin cepat-cepat menghampiri ayahnya.

"Papa!" panggilnya, namun Zeedan justru bergegas pergi dari tempat itu.

Erine mendelik, berusaha mengejarnya. Namun lagi-lagi Oline menahan lengannya.

"APASIH LINE?" kesalnya.

"Ikut aku, kalo kamu mau tau semuanya."

Keduanya kini sudah berada di mobil Oline. Erine benar-benar tidak tau kemana Oline akan membawanya.

"Ngapain kita ke pemakaman sih?"

Erine benar-benar pusing dengan semua ini. Apa yang sebenarnya ingin Oline tunjukkan padanya? Kenapa Oline tak langsung mengatakannya?

"Turun." suruh Oline.

"Ngapain?" tanya Erine.

Oline menggunakan dagunya untuk menunjuk mobil yang parkir di depannya.

"Kita ngikutin Papa kamu, turun."

Erine terbengong. Benar, Erine tau persis itu adalah mobil milik sang Ayah. Lalu untuk apa Ayahnya pergi ke pemakaman? Sebenarnya apa yang terjadi?

Keduanya segera turun dari mobil, Oline meminta Erine untuk mengikutinya. Hingga sampailah mereka di sebuah makam, dimana Zeedan sedang berlutut sambil menangis di depannya.

"Papa?" panggil Erine.

"Maafin Papa, Catherine.."

Erine mencoba mendekat, dan alangkah terkejutnya ia setelah membaca nama yang ada di batu nisan makam tersebut.

Catherine Vallen Asadel
21 Aug 2007 - 30 Feb 2024

Lutut Erine melemas, ia seketika tak bisa menahan bobot tubuhnya lagi. Gadis itu merosot begitu saja ke tanah sambil menutup mulutnya.

"Line? Ini maksudnya apa?" tanya Erine bergetar.

Oline menatapnya sebentar, wajahnya terlihat serius, "Kamu itu sudah meninggal, Erine."

=====

Untuk Alana!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang