Taerae dan Atap Siang itu

100 10 2
                                    

Taerae berlari meninggalkan kantin. Hao yang melihat itu ingin segera mengejarnya namun tangannya ditahan Matthew, “biarin aja.”

Dengan kasar pemuda Kanada itu mengambil bukunya dan Taerae yang tergeletak diatas meja, kemudian ikut pergi meninggalkan kantin setelah memberikan jari tengah pada Junhyeon.

“Pergi,” usir Hao.

Selera makannya hilang.

Taerae berada di rooftop. Ini pertama kalinya pemuda Juli itu berada di sini. Kakinya melangkah menuju sudut pojok sana, sedikit tertutup beberapa meja dan kursi tidak terpakai, Taerae mendudukkan dirinya di sana.

Kemudian menangis.

“Taerae?”

Yang dipanggil mendongak, hidung dan pipinya memerah, air mata membasahi hampir seluruh wajahnya. Kepalanya celingak-celinguk, mencari seseorang yang memanggil namanya tadi. “Gak ada orangnya..”

“Bangun dulu, Taerae ketutupan meja.”

Begitu ia berdiri, ada Gunwook di hadapannya yang tersenyum lebar, bahkan tertawa juga.

“Keluar sini, gak muat di situ.” Space sudut pojok itu sebenarnya cukup untuk dua sampai tiga orang. Tapi karena Gunwook ini tinggi dan besar, hanya dirinya yang berada di sana pun tidak akan muat, apa lagi ditambah Taerae.

Gunwook mengajaknya duduk di dekat tembok pembatas, kemudian mengeluarkan sebungkus roti dan susu dari kantong plastik hitam yang ia bawa.

“Makan,” katanya.

Taerae menatap wajah Gunwook, pemuda tinggi itu tersenyum sambil membuka bungkus rotinya.

Taerae menerima sodoran sebungkus roti itu. “Satu doang? Punya kamu mana?”

Gunwook menggeleng, “gak ada. Itu buat Taerae.”

Yang kecil mengernyit, “Kok cuma aku, kamu udah makan?”

Gunwook menggeleng lagi.

“Berdua aja gimana?” Taerae membagi menjadi dua potong roti itu, lalu ia berikan pada Gunwook. Hanya butuh tiga suapan bagi Gunwook untuk menghabiskan roti tersebut.

“Taerae, oke?” tanyanya. Gelengan kepala Taerae berikan sebagai jawaban.

Gunwook melakukan persis seperti apa yang Taerae lakukan kemarin sore. Tangan besarnya menangkup wajah kecil itu ketika air mata kembali membasahi pipi merah pemuda di hadapannya.

Taerae mulai terisak, “Junhyeon.. tadi aku hiks takut.. Junhyeon serem kayak Papa.. dia hiks bilang aku laporin.. hiks aku enggak.. dia marah..” Gunwook mengambil roti yang masih tersisa sedikit dari tangan Taerae. Kemudian menarik yang lebih kecil itu untuk didekapnya.

“Iya, bukan Taerae yang laporin Junhyeon.” Tangan kanannya mengusap kepala Taerae sedangkan tangan kirinya bertugas mengusap punggung Taerae.

“Dia gak percaya.. gak mau hiks ketemu Junhyeon..”

Gunwook kembali menangkup wajah Taerae, diusap air mata itu dengan kedua ibu jarinya, lalu pipi merah itu Gunwook kecup pelan.

“Nanti diantar ke kelas biar Taerae gak ketemu Junhyeon. Habisin rotinya dulu, udah mau bel masuk.”

Taerae menghabiskan rotinya dalam dua suap sambil sesenggukan. Gunwook ambil lagi bungkus roti itu dari tangan Taerae, kemudian diganti dengan meletakkan susu kotaknya di atas telapak tangan Taerae.

“Udah.” Taerae kembalikan susu kotak yang masih sisa setengah itu pada Gunwook. Diminumnya habis oleh pemuda tinggi itu kemudian dimasukkan ke dalam plastik hitam tadi.

“Ayo.”

Keduanya keluar dari rooftop dengan Taerae memimpin jalan. Gunwook berjalan di belakang Taerae, jaraknya lumayan jauh. Hanya memastikan kalau Taerae sampai ke kelas tanpa bertemu Junhyeon.

Setibanya Taerae di depan kelas, Gunwook langsung masuk ke kelasnya tanpa mengucapkan apa pun.

Taerae merasa sedikit kecewa Gunwook sudah tidak ada di belakangnya.

“Kamu udah makan?” tanya Matthew saat melihat temannya sudah kembali.

Taerae mengangguk, “udah makan roti tadi.”

Matthew memberikan buku tugas yang tadi belum selesai Taerae kerjakan. “Udah aku selesain.”

“Eh, kenapa kamu yang kerjain? Aku bisa tulis sendiri nanti.” Taerae merasa tidak enak, sudah menyalin punya Matthew, ditulisi juga tugasnya.

“Gak papa, tapi nanti kamu yang kumpulin. Soalnya hari ini aku mau ke rumah sakit lagi.”

“Oke, siap. Nanti kapan-kapan aku mau ikut, boleh? Mau liat bayi.”

“Boleh, dong!” Matthew tertawa melihat senyum Taerae yang begitu lebar dengan mata sembab itu tidak bisa disembunyikan.

💤

“Duluan, ya, Rae!”

Taerae hanya mengangguk ketika Matthew meninggalkan kelas lebih dulu. Taerae masih mencatat materi di papan tulis, tadi dirinya tertidur karena pusing habis menangis. Beruntung guru tidak masuk, hanya memberi tugas.

“Taerae, kunci pintu lagi, ya!” Taerae langsung menengok pada Wonbin si sekretaris kelas yang sedang melaksanakan piket.

“Gak mau, aku udah selesai, wle.” Taerae bergegas membereskan barang-barangnya. Kemudian langsung keluar kelas setelah jahil memeletkan lidah pada Wonbin yang cemberut sambil memegang sapu.

“Halo, Taerae.” Keluar dari ruang guru, Taerae dikejutkan dengan Gunwook yang berdiri menunggunya.

“Hai!”

Keduanya berjalan beriringan menuju halte bus dekat sekolah.

“Hari ini langsung pulang?”

Taerae mengangguk pelan, “iya. Jam lima nanti ada les.” Raut wajahnya lesu.

“Sayang banget, baru mau ajak Taerae ke toko buku.” Gunwook ikut memasang wajah lesu.

“Maaf.. lain kali, ya. Nanti diomelin Papa.”

“Kemarin juga dimarahin? Maaf, ya.”

Taerae menggeleng, “kemarin kan aku yang ajak, gak papa.”

Keduanya terus bertukar topik sampai bus datang. Tanpa sadar memperhatikan sekitar, ada seseorang yang memperhatikan mereka dengan tatapan.. kemenangan?

















omake:

“Han Yujin, Han Yujin!” Pemuda enam belas tahun itu berhenti melangkah saat jalannya dihadang dua pemuda tinggi.

“Kenapa?”

“Mau tanya, Taerae sama Junhyeon bermasalah?” tanya yang bersurai pirang.

“Bukan gitu, tolol!” Pemuda tinggi satunya menoyor si rambut pirang. “Tadi di kantin, Junhyeon ada masalah sama Taerae? Eh, biasanya gue tuh gak kepo banget orangnya, tapi karena tadi tuh Taerae, jadi gue kepo aja.”

“Kayaknya salah paham doang. Kak Junhyeon ngiranya Kak Taerae yang laporin dia ke konseling soalnya Kak Taerae ada di toilet juga waktu Kak Junhyeon.. ngerti, lah, ya? Eh, tapi gak tau juga sih bener apa enggaknya, tapi tadi Kak Taerae bilangnya kalo bukan dia yang laporin Kak Junhyeon.”

“Udah, ya. Aku udah dijemput, dadah Kak Gyuvin, Kak Ricky!”

“Bicaranya cepet banget, dia bilang apa tadi?” tanya Ricky, si rambut pirang.

“Tau, ah!” Gyuvin meninggalkan Ricky begitu saja.

“Gyuvin!”

my lover is sleeping, gunrae.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang