Dukungan Hassan dan Kesetiaan Indra

686 106 23
                                    

Senja yang sudah mulai nampak diujung barat bumi, tak menyurutkan niat Pradipta untuk terbang menuju Solo. Setelah meminta sang Ajudan, Indra, untuk mengonfirmasi keberadaan ibu dari anaknya. Bahkan sebelum menuju bandara, ia menghampiri sang adik untuk menagih surat tanah yang ia percayakan pada Hassan. 

"San, suratnya apa sudah selesai?" Tanya Pradipta yang sudah berdiri diambang pintu ruang kerja adiknya.

Hassan mengeluarkan tas yang berisikan surat yang kakaknya minta, ia bahkan memberikan satu surat tambahan. Yaitu surat kepemilikan jet pribadi atas nama sang kakak. Bagi Hassan jet kakaknya yang lama sudah usang, ia tak mau membahayakan nyawa kakaknya lagi. Ia menghampiri kakaknya dan menyerahkan surat itu. "Sudah ada dua surat didalam tas ini, punyamu semua."

"Terima kasih, saya akan ke Solo hari ini, tidak tahu kapan kembali ke Jakarta, ibunya Dimas disana, saya akan menemuinya." Pradipta mengatakan niatnya pada Hassan, agar sang adik tahu dimana ia berada bila tak di Jakarta. Kemudian ia berlalu pergi dari hadapan Hassan setelah menyalami dan memeluk sebentar adiknya.

Meski ada rasa khawatir dalam diri Hassan membiarkan kakaknya bepergian menggunakan pesawat setelah terjadinya insiden yang tak diinginkan. Namun Hassan tak bisa berbuat banyak, karena jika sang kakak sudah berurusan dengan istrinya, bahkan jika Hassan menghadirkan orang bijak sekalipun, Pradipta tak akan mendengarnya. Karena hal itulah, Hassan menyediakan satu jet pribadi yang terbaru untuk kakaknya gunakan, sebab jet Pradipta yang biasa digunakan sudah terlalu lama. Hassan merasa itu harus diganti dan memberikan yang terbaik untuk kakaknya. 

Bagi Hassan, jika untuk Pradipta, tak ada yang tak bisa ia lakukan. Ia berada disamping sang kakak pada titik terhancur dalam hidupnya, ia menyaksikan karakter kakaknya dibunuh secara perlahan, bahkan dirinya menjadi saksi air mata penderitaan kakaknya. Saat ini jika dengan membiarkan kakaknya melakukan hal yang disukainya membuat kakaknya bahagia dan melupakan masa lalunya yang kelam, maka Hassan akan selalu mendukungnya. 

"Pak, kita langsung menuju Solo?" Tanya Indra pada Pradipta yang tengah duduk dikursi penumpang menuju bandara. 

"Indra, kita bisa ke Hambalang dulu, saya harus mencari surat dengan amplop coklat yang sudah sedikit usang." Balas Pradipta menatap Indra yang duduk disamping kemudi mobil. 

"Seingat saya itu sudah dibawa ibu pak, jika surat yang bapak cari beramplop coklat dengan tali biru yang tergantung dibagian atasnya. Serta amplopnya terdapat stempel kenegaraan." 

Benar, itulah surat yang Pradipta cari, ia merasa kagum dengan ingatan ajudannya itu. Jika surat itu sudah dibawa oleh istrinya, berarti hanya ada satu tempat bisa menemukan surat itu. Tetapi selama hampir dua bulan lamanya ia tak bertemu Trisna, belum ada panggilan apapun dari pengadilan. Artinya Trisna belum menyerahkan surat itu. Kini niatnya menuju Solo semakin kuat, ia tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini lagi. 

"Kita langsung menuju Solo Indra. Gunakan jet yang sudah disediakan Hassan." Balasnya pada Indra. Sementara Indra hanya menganggukkan kepalanya. 

Selama hampir satu jam lima belas menit mengudara, Pradipta yang hanya ditemani Indra, karena sekretaris pribadinya belum selesai diseleksi tiba dikota Solo, ia bahkan tak mengistirahatkan dirinya, dan memilih langsung menuju kediaman Trisna di Kota itu. 

Sementara itu, Trisna tengah asik bercengkrama dengan seorang teman lamanya diruang tengah rumahnya. Angga Suwirdjo, mantan gubernur salah satu bank dan teman lamanya semasa kuliah. Seperti yang Pradipta katakan dulu, bahwa ayahnya Angga dan Jenderal Suyatama serta ayahnya Yahya adalah sahabat karib, sehingga wajar anak-anak mereka memiliki hubungan dekat. 

Rupanya Trisna tengah mendiskusikan perihal pendanaan rumah makan yang akan dirinya bangun dalam waktu dekat di seputaran Bogor serta mendiskusikan renovasi rumah yang tengah ia tempati di Solo saat ini. Ia tak bercanda waktu mengatakan pada Pradipta bahwa dirinya ingin membuat rumah makan khas daerah. Temannya Angga, adalah rekan yang tepat bagi Trisna untuk ia ajak berdiskusi perihal bisnis maupun hal yang berkaitan dengan dunia ekonomi.

Pradipta yang sudah tiba lima belas menit yang lalu hanya berdiri diambang pintu, menyaksikan senda gurau istrinya dengan laki-laki yang selama ini membuatnya tak enak hati. Ia merasa ragu, apakah akan masuk atau justru kembali pulang. Ia masih menatap dua orang yang tengah bercengkrama ria dengan posisi duduk bersebelahan, dengan tatapan yang tak lepas dari dokumen dihadapan mereka. Sudah lama Pradipta tak menyaksikan Trisna tersenyum lebar seperti itu, sudah lama Pradipta tak melihat ekspresi bahagia istrinya yang seperti itu.

"Masuk saja pak, mungkin ibu tengah membahas hal yang penting." Indra yang sudah berpengalaman akan kejadian atasannya yang seperti ini menyarankan hal yang dirasanya tepat. Selain itu ia juga merasa lelah berdiri diambang pintu begitu menenteng tiga tas, tanpa kejelasan. 

Pradipta yang mendengar saran dari ajudannya melangkah kearah Trisna dan Angga. Beberapa pekerja rumah dan ajudan Trisna yang menyadari kehadiran Pradipta memberi salam kemudian berlalu pergi karena mendapat kode dari Indra. Trisna dan Angga yang melihat itu sontak berdiri berbarengan. Bahkan Trisna terlihat bingung, kenapa Pradipta tiba-tiba ada disini, bukankah mereka masih bertengkar, apakah kali ini Pradipta datang untuk mengajaknya ribut lagi. Jelas sekali terlihat dari mata Trisna bahwa ia merasa gugup.

"Mas Pradipta, apa kabar?" Angga membuka pembicaraan kemudian mengulurkan tangannya mengajak Pradipta untuk bersalaman. 

"Baik." Pradipta membalas dengan tersenyum. Ia menatap Trisna sekilas, Pradipta sadar betul bahwa Trisna pasti merasa sedikit 'takut' kalau kejadian ini akan menjadi bahan pertengkaran mereka lagi. Atau justru Trisna sudah tak peduli, karena dirinya telah berlaku kelewatan waktu mereka terakhir kali bersama. "Saya tunggu dikamar ya." Pradipta sengaja mengatakan itu didepan Angga, agar laki-laki itu menyadari posisinya. Kemudian Pradipta berlalu pergi menuju kamar Trisna dengan menenteng satu tas yang sedari tadi Indra bawa. 

"Bu, bapak sepertinya akan membahas hal yang penting, karena beliau menanyakan amplop yang ibu bawa saat itu. Biar saya temani Mas Angga disini sebentar." Indra mengatakan itu tanpa mengurangi rasa hormatnya pada dua orang didepannya. 

"Tidak apa Tris, Pak Dipta jauh-jauh ke Solo pasti ada hal penting yang dibahas, lagipula ini sudah malam, saya harus makan malam dengan keluarga, jadi saya pamit, nanti kita lanjutkan pembahasannya." Angga yang mengerti bahwa saat ini kurang tepat bila berada ditempat itu lebih lama, memilih undur diri, karena waktu juga sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tigapuluh menit. 

Selepas mengantar Angga menuju mobil, Trisna meminta pekerja rumah menyiapkan kamar untuk Indra beristirahat. Ia pun bertanya pada Indra, apakah terjadi sesuatu di Jakarta, kenapa mereka repot-repot terbang ke Solo. 

"Tidak ada bu, tadi siang bapak bertemu Pak Syam sepertinya mereka terlibat obrolan penting karena bapak bahkan tak meminta saya untuk mendampinginya." Balas Indra pada pertanyaan Trisna itu. 

Trisna sebenarnya juga baru tiba di Solo tiga jam lebih dulu dari Pradipta, karena dirinyapun sempat bertemu Syam di Jakarta. Tujuannya ke Solo adalah untuk bertemu Angga membahas beberapa agenda bisnis yang akan ia kerjakan. "Baik kalau begitu Indra, kamu istirahat dulu pasti lelah, nanti makan saja kalau kamu merasa lapar. Saya tinggal kekamar dulu."

Trisna melangkahkan kakinya, ia menaiki satu demi satu anak tangga rumahnya sembari memikirkan apa yang akan terjadi antara dirinya dengan Pradipta setelah ini. Apa sebenarnya yang Pradipta ingin katakan. Apakah Pradipta merasa marah, karena dirinya bercengkrama dengan Angga. Tetapi ia mengingat percakapannya dengan Pradipta, bahwa bagi ayah dari anaknya itu sekedar bercengkrama tidaklah masalah, selagi tidak bersentuhan.

Sesampainya diambang pintu kamarnya Trisna justru ragu, apakah ia akan membuka pintu itu, atau mengetuknya terlebih dahulu, tetapi bukankah ini kamarnya kenapa ia harus ragu untuk masuk kedalam. Keraguan dalam dirinya muncul karena ada Pradipta didalam.

Hampir dua bulan ia tak bercengkrama dengan Pradipta, apa yang akan ia katakan sekarang, reaksi apa yang akan ia berikan sekarang. Trisna masih diam mematung didepan pintu kamarnya. Hingga perlahan suara pintu terbuka ia dengar dengan jelas, Pradipta muncul dihadapannya, berdiri diambang pintu dengan ekspresi yang tak bisa Trisna jelaskan.

SETELAH KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang