Cinta Terbaik

682 97 48
                                    

Bagi Pradipta, wanita itu - Trisna setiap inci dirinya menggambarkan keindahan. Cantiknya bukan hanya fisik tetapi juga jiwanya. Seperti yang pernah ia katakan bahwa Trisnanya memiliki kecantikan yang tidak kosong, kecantikan yang dibarengi dengan kepribadian dan pengetahuan. Sebab itulah setiap hal yang diinginkan oleh Trisna, Pradipta selalu mengusahakannya. Tetapi kali ini berbeda, membeli dua sisir pisang dipasar bagi seorang Pradipta adalah hal yang sedikit 'tidak jantan.' Bagi Pradipta akan lebih baik jika Trisna meminta membeli tanah lagi daripada hanya dua sisir pisang.

"Tris saya beli empat tandan. Saya malu kalau hanya beli dua sisir." ucap Pradipta dengan wajah polos saat menghampiri Trisna dengan tangan penuh pisang.

Trisna yang melihat suaminya datang dengan Indra tertawa kencang. Bahkan tangan Indra yang biasanya menenteng tas kini juga penuh pisang. Indra menjadi korban suaminya untuk membawakan sisa pisang yang ia beli. "Mas, ndak sekalian kamu buat kebun pisang saja kalau begini." 

"Setuju. Sisakan saja lahan yang kamu tanami anggrek itu." 

Trisna yang mendengar jawaban suaminya sedikit terkejut. Bagaimana bisa Pradipta selalu menganggap serius setiap hal yang keluar dari mulutnya. "Mas, saya hanya bercanda, ndak perlu seserius itu."

"Maaf pak bu,  ini saya taruh dimana pisangnya?" Indra menyela obrolan atasannya, karena jujur saja, tangannya sudah mulai pegal membawa pisang yang begitu banyak.

Belum sempat dijawab oleh Trisna, dari arah pintu utama muncul Dimas menggendong tas besar dengan hanphone ditangannya. Ia menahan senyumnya melihat ayahnya dan Indra yang nampak pasrah didepan sang ibu. "Bu, pisang sebanyak ini untuk apa?, apa kalian berencana jual gorengan?" Canda Dimas sembari menyalami tangan sang ibu dan mencium pipinya. Saat ingin menyalami sang ayah, Dimas berhenti sebentar kemudian tertawa. "Apa selama tiga bulan belakangan ayah selalu membeli hal-hal seperti ini?" Kemudian membantu Pradipta menurunkan pisang ditangannya.

"Kenapa pulang? Katanya mau pindah kesana saja." Ucap Pradipta sembari mengelus punggung anaknya  yang sudah tiga bulan tak ia temui.

"Aku lelah mendengar pidato ibu setiap minggu ditelepon." Dimas menjawab dengan setengah berbisik agar tak didengar Trisna.

Namun dugaannya salah, belum beberapa detik telinganya sudah dijewer sang ibu dari arah belakang. Dimas sedikit meringis berpura-pura kesakitan agar Trisna menghentikan aksinya. Tetapi Trisna tahu kalau anaknya itu tengah berpura-pura, karena ia sama sekali tidak menggunakan tenaga untuk menarik telinga anaknya. "Ngomong apa bisik-bisik? Sudah sana letakkan dulu barang-barangmu. Jam makan siang sebentar lagi."

Dimas yang patuh hanya menganggukkan kepalanya. Dari arah tangga ia berteriak sedikit. "Mas Indra, pisangnya taruh dimeja makan saja, tidak usah ditenteng terus tidak akan ada yang curi." Dimas tertawa setelah mengatakan itu.

"Anak itu kenapa selera humornya berubah? Kira-kira malaikat mana yang membuatnya nampak begitu bahagia?" Pradipta mengatakan itu sambil membantu Indra memindahkan satu demi satu pisang yang mereka beli. "Ngomong-ngomong ini akan kamu gunakan apa Tris?"

Trisna hanya tersenyum, kemudian memanggil salah satu pekerja rumah untuk membantunya mengupas pisang-pisang itu. "Mas, nanti saya panggil kalau sudah waktunya makan siang. Sebaiknya lanjutkan pekerjaanmu yang tertunda."

Pradipta dan Indra saling tatap. Indra merasa sedikit khawatir, sepertinya keduanya memikirkan pekerjaan yang mana yang belum selesai. Karena sebelum pergi kunjungan kepasar menemani presiden, pekerjaan mereka sudah selesai semua.

"Saya tidak ada pekerjaan yang urgent Tris, semuanya sudah selesai pagi tadi."

"Ah masak? Itu anggrek dibelakang masih banyak yang belum ditanam mas. Kamu beli banyak, jadi harus dipertanggung jawabkan dong."

SETELAH KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang