Gazebo Halaman Belakang

678 97 27
                                    

Malam hari, dikala bulan menampakkan dirinya begitu sempurna, Trisna dan Pradipta menikmati waktu di gazebo halaman belakang rumah Kartanegara. Pradipta yang sibuk dengan buku ditangannya, sementara Trisna yang lebih senang melihat anggrek yang mereka tanam sebelumnya. Meski belum tumbuh sempurna karena baru ditanam pagi sebelumnya, anggrek-anggrek itu terlihat begitu cantik terpapar cahaya bulan. Gemericik air kolam yang mengelilingi gazebo serta suara jangkrik yang bersahut-sahutan dikeheningan malam menjadi penanda bahwa baik Pradipta maupun Trisna tengah tenggelam dalam kegiatannya masing-masing.

Pradipta yang menyadari istrinya berdiri tepat menyamping dihadapannya sehingga ia bisa melihat dengan jelas wajah Trisna, menutup bukunya pelan. Seakan tak ingin bila Trisna mendengarnya menutup buku dan mengubah posisinya berdiri.  Pradipta perlahan merebahkan tubuhnya pada sofa panjang yang ada dipojok gazebo, menatap lekat-lekat Trisna yang malam ini begitu cantik dengan pakaian sederhana berwarna serba pink. Trisna tengah asik menatap bergantian bulan yang bersinar begitu cantik  serta anggreknya yang terpapar sinar bulan, hingga ia tak menyadari bahwa Pradipta menatapnya tanpa berkedip.

"Bahkan meski dia bersama saya puluhan tahun, saya masih tak bisa percaya bahwa ciptaan tuhan yang begini sempurna menjadi milik saya." Batin Pradipta, yang masih setia tanpa henti menatap istrinya.

"Mas Dipta lihat deh, bulannya indah sekali." Ucap Trisna dengan suara lembutnya tanpa melihat Pradipta.

Pradipta yang mendengar itu sontak menghampiri istrinya. Saat tepat berada dibelakang Trisna, tanpa meminta ijin terlebih dahulu, Pradipta memeluk istrinya dari belakang, melingkarkan tangannya dipinggang sang istri dan meletakkan dagunya pada pundak Trisna. Sembari memainkan hidungnya yang mancung pada kulit mulus Trisna yang sedikit terlihat diseputaran lehernya,  Pradipta berucap pelan.  "Trisna-nya saya jauh lebih indah." ia semakin mengeratkan pelukannya.

Bukan Trisna namanya jika dirinya tak salah tingkah pada setiap hal yang Pradipta lakukan. Jangankan 'disentuh' atau dirayu oleh ayah dari anaknya seperti saat ini. Mengingat nama dari suaminya saja akan selalu sukses membuat Trisna senyum-senyum tak menentu.

Contoh kecil, sewaktu ia diwawancara terkait fotonya yang beredar dimedia sosial tengah menemani Pradipta kunjungan kerja di Singapura, Trisna tak berhenti tersenyum setiap kali ada wartawan yang menyebut nama suaminya itu. Bahkan saat dirinya menjawab "saya ibu dari anaknya Mas Dipta, itu sudah cukup" membuat Trisna tak bisa tidur semalaman setiap kali ia mengingat kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri. Secara tak langsung dirinya mengakui bahwa menjadi ibu dari anak Pradipta adalah hal yang paling ia syukuri dan paling membahagiakan dalam hidupnya.

Menjadi satu-satunya wanita dalam hidup Pradipta adalah hal yang selalu membuatnya salah tingkah. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Pradipta begitu romantis Trisna hanya menanggapi singkat. "Mas Dipta bisa saja." Itulah kalimat andalan Trisna jika dirinya sedang tak bisa menyembunyikan rasa senang, malu-malu dan bahagianya. Pipinya yang memerah serta caranya menghindar adalah bukti nyata bahwa Trisna benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaannya terhadap setiap hal yang berhubungan dengan Pradipta.

"Mas, nanti ada yang lihat bagaimana?" Trisna mencoba melepaskan tangan Pradipta yang melingkar sempurna pada pinggangnya.

"Siapa yang berani lihat kearah kita?" Pradipta tak bergeming, ia justru menikmati sentuhan istrinya yang mencoba melepas tangan kekarnya itu. Lucu sekali, bagi Pradipta alih-alih merasa sakit karena tangannya ditarik-tarik, ia lebih merasa gemas pada tangan-tangan mungil istrinya itu. "Sayang, tanganmu lembut sekali, tidak pernah berubah dari saat pertama kali saya menggenggamnya."

Jantung Trisna semakin tak karuan. "Mas kita sedang diruang terbuka, ndak dikamar, kamu mau dilihat Indra dan yang lainnya seperti dulu."

"Kalau begitu bagaimana jika kita pindah kekamar saja? Jadi rasa khawatirmu itu bisa hilang."  Pradipta yang masih setia memeluk Trisna semakin senang bila ia berhasil menggoda istrinya itu.

"Mas Dipta, ndak usah aneh-aneh. Saya masih mau disini, masih senang lihat bulan dari sini."

"Mas juga masih mau disini, mas masih senang lihat wajah Trisna dari jarak dekat."

"Mas berhenti gombal." Trisna benar-benar sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Ia bahkan sampai membalikkan badannya saat mengatakan itu. Namun bukannya bisa lepas dari Pradipta yang semakin hari semakin ada saja tingkahnya. Trisna justru semakin terjebak dalam situasi yang membuat jantungnya semakin tidak bisa dikendalikan.

Saat ini, wajahnya dengan wajah suaminya itu hanya berjarak sekian centimeter. Begitu dekat, hingga jika Trisna bergerak sedikit saja bisa ia pastikan bahwa ia dan Pradipta akan menyatu. Tangan Pradipta yang masih dipinggangnya semakin erat ia rasakan. Melihat Pradipta yang tak berkedip sedikitpun membuat Trisna ingin mengalihkan pandangan, tetapi urung ia lakukan saat mendengar Pradipta berbicara pelan. "Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya, kenapa tuhan mengirimkan ciptaannya yang sempurna ini kepada saya?" Pradipta tersenyum penuh makna. "Sayang, kenapa kamu begitu cantik." Tatapan Pradipta semakin dalam.

"Mas Dipta..." Trisna tersenyum malu-malu, ia bahkan sampai memukul pelan dada bidang suaminya itu.

"Jangan dipukul." Pinta Pradipta.

"Kenapa ndak boleh?" Trisna bertanya dengan keadaan tetap memukul-mukul pelan dada suaminya.

"Ada hati kamu didalamnya. Nanti sakit."

Trisna semakin tersipu. Ia benar-benar merasa diatas angin sekarang.  "Kalau begitu saya pukul lebih keras."

"Lho, kok begitu?" Pradipta yang masih tak membiarkan Trisna menjauh bertanya dengan mengedipkan matanya.

"Biar sakit didalam sana, lalu kembali kesaya." Trisna berhenti memukul, ia tersenyum kemudian melanjutkan. "Ndak jadi deh, sebaiknya tetap disana saja."

Pradipta terkekeh, ia jadi penasaran dengan pemikiran istrinya. "Kenapa tidak jadi?"

"Nanti kalau diambil kembali, tempatnya jadi kosong, semakin mudah untuk diambil orang lain. Saya ndak mau tempatnya diambil orang." Trisna menundukkan kepalanya, tangan yang semula berada didada suaminya berpindah meremas-remas baju yang ia kenakan, jujur ia merasa malu dengan apa yang ia katakan.

"Bahkan jika kamu mengambilnya lagi, tempatnya akan tetap kosong sampai kamu mengisinya kembali. Sayang, bukankah kamu yang paling tahu itu?" Pradipta kini mendorong pelan tubuh istrinya, Trisna benar-benar terpojokkan, dibelakangnya adalah tiang gazebo yang cukup muat untuk menyembunyikan tubuhnya dari pandangan orang lain. Ia tak ada celah untuk bergerak."Selama ini saya berjuang bukan karena tidak ada pilihan lain. Tetapi karena diantara banyaknya pilihan, kamu tetap adalah yang paling saya inginkan. Maka dari itu, jika kamu mengambilnya seperti dulu, maka saya akan memperjuangkannya lagi hingga kamu mengembalikannya ketempat semula."

"Bahkan kini bulan kalah indah dengan untaian kata yang keluar dari mulut Pradipta Sandya Djiwono." Trisna mengatakan itu dengan mencubit pelan hidung mancung suaminya. "Mas Dipta..." Belum selesai Trisna mengutarakan keinginannya, Pradipta sudah meletakkan jari telunjuknya tepat didepan wajah mereka. "Saat kamu terdiam seperti ini, saat pipimu memerah malu karena mendengar saya berbicara adalah saat-saat dimana saya merasa bahwa kamu juga memiliki cinta yang sama besar dengan saya."

Trisna mengelus setiap inci wajah Pradipta, jari-jarinya menyentuh setiap helai rambut suaminya yang tersisir rapi. "Cintamu lebih besar Mas Dipta, kamu luar biasa. Ndak mudah bagi seseorang untuk memperjuangkan orang lain selama bertahun-tahun. Ndak mudah mas, tetapi kamu hebat karena kamu mampu. Kamu mampu menjaga perasaan kita. Menjaga hati kita tetap bertaut satu sama lain."

"Bagi saya, menjaga hati yang telah kamu berikan sama dengan menjaga keutuhan negara kita. Harus rela berkorban dan berjuang hingga titik darah penghabisan. Dan satu lagi Tris, kamu bukan orang lain, tidak akan pernah menjadi orang lain." Pradipta semakin mendekatkan dirinya pada tubuh Trisna.

Sementara Trisna yang sudah tidak ada celah untuk menghindar hanya bisa menatap Pradipta. "Mas Dipta, sekali lagi saya katakan. Kita diruang terbuka."

Pradipta yang menyadari tingkahnya sendiri hanya bisa tersenyum. "Aneh sekali, setiap melihat kamu didekat saya. Sulit rasanya untuk mengendalikan diri agar tidak menyentuh ataupun mendekatimu."

Trisna tak menanggapi, ia terlalu diatas angin untuk bisa menanggapi setiap kalimat Pradipta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SETELAH KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang