13. Gagal Memulai

851 87 9
                                    

Happy Reading
°
°
°
°__________~__________°

Malam ini terasa lebih hangat dari malam-malam sebelumnya, atau bahkan malam terhangat yang pernah Edward alami.

Seluruh keluarganya berkumpul melaksanakan makan malam bersama, dan yang terpenting adalah ada Halano di sampingnya.

"Makan yang banyak ya Al," ucap Edward sembari meletakkan lauk di piring Halano.

Sebenarnya Halano tidak suka oleh perhatian yang diberikan oleh ayahnya. Namun karena dirinya suka makan, jadi Halano diam saja menerimanya.

Setelah makan malam berakhir, mereka memutuskan untuk duduk bersama di ruang keluarga untuk berbincang mendekatkan diri dengan Halano.

"Masa lo udah mau masuk SMA aja sih Cil? Gue kira lo masih SD," goda Justin yang saat ini membantu Halano memeriksa seragam sekolahnya.

Halano menampilkan raut wajah garang pada Justin, namun di mata Justin ekspresi itu malah terlihat lucu. Tidak ada seram-seramnya sama sekali.

Awalnya ia merasa kesal, Justin datang dengan berisik memanggilnya bayi. Namun setelah tau pamannya itu berbicara dengan bahasa lo-gue, Halano mulai tertarik, berarti pamannya keren.

"Gue bahkan udah mau 16 tahun Om," balas Halano yang sengaja ingin membuat Justin kesal. Pamannya itu tadi memintanya untuk memanggil abang.

Jevano yang datang dari lantai atas, sontak menertawakan ekspresi Justin saat ini.

"Emang lebih pantes dipanggil Om sih," tambah Jevano ikut-ikutan menggoda.

"Kalo buat bocil lucu kayak lo nggak papa sih Al, terserah mau panggil apa aja," balas Justin yang berusaha tenang dan tersenyum sembari mengusap kepala Halano.

"Kalo buat lo, jangan coba-coba," tunjuk Justin pada Jevano yang masih menertawakannya.

"Ayahmu sudah tidur Je?" tanya Diego pada Jevano yang duduk di sampingnya.

"Udah Eyang, tadi Jeje temenin sampe tidur, habis minum obat."

Halano baru menyadari jika sedari tadi mereka berkumpul tanpa hadirnya Edward. 'Pantas aja lebih nyaman,' batin Halano.

~~~

Malam ini seharusnya Edward dapat tertidur dengan nyenyak, mengingat betapa bahagianya hari ini. Namun dirinya malah terbangun tengah malam ini, perasaannya tiba-tiba gelisah.

Kakinya melangkah menuju kamar puteranya, Halano. Hari ini adalah malam pertama Halano tidur di rumahnya. Ia ingin memeriksa apakah puteranya itu tidur dengan nyaman, ah bukan karena itu. Edward lebih ingin memastikan apakah Halano benar-benar masih ada di sana, benar-benar tinggal bersamanya di rumah ini.

Edward membuka pintu dengan pelan, agar tidak menimbulkan suara yang mungkin bisa mengganggu tidur puteranya.

Terlihat Halano yang tidur dengan mulut sedikit terbuka, selimut dan salah satu bantalnya yang sudah jatuh di lantai. Edward mengambilnya kemudian ia selimutkan pada Halano.

Edward tersenyum lega, Halano ada di sini.

Dirinya kini duduk di samping puteranya, memandangi wajah Halano sampai puas mungkin. Dirasa sudah terlalu lama, Edward berniat untuk keluar dari sana.

Namun ketika ia akan bangun dari duduknya, telinganya mendengar lirih suara isak tangis. Edward sontak menoleh, dan benar suara itu berasal dari Halano yang sedang menangis dalam tidurnya.

Baru sehari dirinya tinggal bersama Halano. Namun sudah dua kali ia melihat puteranya itu menangis.

Ketika Edward hendak mengelus surai puteranya, tiba-tiba ingatan mimpi itu muncul begitu saja. Mimpi yang membuatnya ketakutan. Halano yang tidur di sampingnya juga menangis dalam mimpi itu. Kemudian puteranya berdarah-darah, namun ia tidak dapat melakukana apapun.

Pikirannya tahu itu hanya mimpi, namun hatinya takut jika mimpi itu berakhir menjadi kenyataan.

"Al." Edward reflek memanggil Halano ketika menyentuh surai puteranya.

Halano yang memang sudah tak nyaman dalam tidurnya, terbangun dengan terkejut melihat Edward yang berada di kamarnya.

"Apa yang Anda lakukan di sini?"

'Deg'

Edward memang menyadari bahwa puteranya belum sekalipun memanggilnya 'ayah' sejauh ini Halano bersamanya. Ia meyakinkan dirinya bahwa mungkin puteranya masih merasa canggung.

Namun keyakinannya dipatahkan malam ini dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Halano.

Rasanya sungguh menyesakkan, namun Edward mencoba untuk tidak mengambil hati. Jika begitu maka luka yang dirasakan Halano memang sedalam itu dan itu terjadi karena perbuatannya dulu.

"Ayah cuma mau liat, Al bisa tidur apa enggak."

"Kamu tadi mimpi buruk Nak, Ayah ambilin minum dulu ya."

Halano menyentuh wajahnya, apa ini? Dirinya menangis lagi. Pasti karena mimpi sialan itu. Damian berbohong kali ini padanya, mana? Mimpi itu tetap saja masuk dalam tidurnya.

Dirinya segera mengusap wajahnya dengan kasar, "Nggak perlu, pergi!"

Ia tidak ingin lebih emosi lagi karena tidak dapat mengendalikan dirinya. Ia kembali menidurkan diri, memarik selimut dan membelakangi ayahnya.

Edward dapat melihat jika punggung itu bergerak naik turun dengan cepat, Halano pasti masih emosi saat ini.

"Al jangan seperti ini, Ayah nggak tenang kalo kamu...."

"Pergi! Tolong pergi, keluar dari sini!" bentak Halano memotong kalimat Edward.

Edward yang mendengarnya sontak memejamkan mata. Memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak, jantungnya berdetak dengan cepat dan udara-udara di sekitarnya seakan perlahan menjauhinya.

Dia menghirup dalam sisa-sisa udara di sekitarnya kemudian menghela napasnya dengan mulut yang bergetar.

"Iya, okey. Ayah keluar, kalau butuh apa-apa panggil Ayah ya."

Tidak ada sahutan dari Halano. Justru yang Edward lihat setelahnya adalah punggung puteranya yang mulai bergetar.

Edward sungguh ingin meraih punggung itu kemudian mengusap dan membawanya ke dalam pelukan. Namun saat ini bukanlah waktu yang tepat. Sedikit saja ia gegabah, maka Halano akan lebih membencinya.

Akhirnya dengan langkah gontai Edward keluar dari kamar Halano. Salah satu tangannya masih menekan titik yang ada di dadanya itu, berharap sesak itu akan hilang. Kemudian satu lainnya bertopang pada dinding-dinding ruangan.

~~~

Halano duduk bersama Justin saat ini di meja makan. Rencananya Justin akan mengantarkannya ke sekolah untuk melihat pengumuman mengenai hari pertama MPLS dilaksanakan.

Cukup lama mereka menunggu untuk memulai sarapannya, akhirnya terlihat Jevano yang turun menuju ke arah mereka.

"Kita makan duluan aja Dek, Bang," ucap Jevano dengan wajah lesu duduk di salah satu kursi kemudian mengambil piringnya.

"Kenapa? Mana Papah sama orang tua lo?" tanya Justin.

Sedari tadi mereka menunggu kedatangan anggota keluarga yang lain untuk sarapan bersama. Karin sudah pulang ke luar kota kembali ke rumah keluarga barunya.

"Eyang sama bunda nemenin ayah lagi terapi di kamar, semalem kambuh asmanya."

Halano yang hendak mengambil nasinya sontak terdiam. Apakah karena dirinya semalam, Edward jadi sakit hari ini?

"Parah? Kenapa nggak dibawa ke RS aja?" Justin kembali bertanya.

Jevano menggeleng, "Nggak papa, ayah masih bisa handle. Besok aja katanya sekalian check up."

Namun ia tidak jadi merasa bersalah. Dirinya tidak melakukan apapun yang melukai fisik Edward. Hatinya juga tidak bisa kan kalau harus berpura-pura atau diam saja jika ada yang membuatnya tidak nyaman.

•⛄

Tbc

Bear-ing ✔ [HAECHAN ANGST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang