iii: digangguin bokem (bocah kematian)

24 11 3
                                    

Kembali ke masa sekarang...

"Bapak, jangan buru-buru!"

Bunga segera mengejar Mustafa yang mengenakan jaket-nya, melompati kayu demi kayu yang menjadi pondasi antara satu rumah kayu dengan rumah lain. Ia kemudian mengambil tangga yang terbuat dari tali, turun bawah, dan berhenti di tengah jalan. Menggunakan momentum di udara dengan menggelantung dari tali itu, ia segera melompat ke pondasi kayu lain, menuju ke arah parkiran umum.

Sementara Bunga, yang dengan mudah berteleportasi ke belakang Mustafa, melihat sekitarnya dengan takjub. Mereka berada 100 meter dari tanah. Satu-satunya hal yang membuat mereka tidak jatuh ke bawah tanah adalah kayu ringkih yang tidak hanya menahan beban mereka, namun rumah kayu di atasnya, dan di atasnya lagi, terus menumpuk ke atas seakan ingin mencapai langit. Apakah ini aman? Tentu... Tentu tidak aman, tapi sebagai orang yang tidak memiliki banyak uang, Mustafa tidak bisa banyak protes.

"Aku sudah bilang aku tidak mau menjadi Purifikator terregistrasi," Mustafa melihat sekeliling parkiran umum. Dari sepatu roda, skateboard, sepeda, ia akhirnya menemukan motornya. Bagaimana tidak? Hanya ada beberapa motor saja terparkir di parkiran umum yang bertingkat ini. Pada umumnya, harga kendaraan melayang tidak murah, apalagi sepeda motor milik Mustafa. Tidak sampai 10 kendaraan melayang yang terparkir disini.

"Saya kan belum bilang apa-apa, Pak!" Bunga cemberut dan memperhatikan bagaimana Mustafa membuka gembok yang terpasang di rantai sepedanya dengan digital tab-nya. "Saya mau pake jasa Bapak, Bapak ojek kan?"

Mustafa memandang Bunga penuh rasa curiga. Kali ini, trik apa yang gadis ini rencanakan?

"Kamu memang mau kemana?"

"Ke sekolah," Bunga menjawab. "Ya, ya?"

"Cari ojek yang lain saja," Mustafa menaiki Asep. Ia mengelus dasbor motornya, dan Asep mengelurkan suara robotik kegirangan.

"Yah..." Bunga cemberut. Ia kemudian mengeluarkan jurus terakhirnya:

Uang.

"Saya padahal mau kasih tip yang banyak buat Bapak," ia menghela nafas keras-keras, super dramatis. Telunjuknya ia jilat dan mulai menghitung lembaran uang bewarna merah di depannya. "Kalau begitu, ini tip-nya buat ojek yang lain aja deh, mungkin emang bukan rejeki Pak Mustafa."

Wajah Mustafa memerah. "Kamu pikir harga diri saya sebatas Rp 1juta?"

Bunga mengerling, dan mengeluarkan beberapa lembar lagi dari rok-nya. "Kayaknya ini lebih dari 1 juta deh? Tapi nggak tahu ya, coba saya hitung lagi... 10, 11, 12..."

"Cukup, cukup," Mustafa tiba-tiba mengambil uangnya dan berdeham. "Jangan salah paham, aku langsung mengambilnya karena jika aku tolak, kamu pasti nanti mau ambil uang yang lebh banyak lagi kan? Jadi daripada kamu mengabiskan lebih banyak uang untuk hal bodoh, aku akan ambil sekarang juga." ia tersenyum, dan mengarahkan Bunga ke jok motornya dengan dagunya.

Bunga tersenyum, hampir saja ingin membalas, jadi harga diri Bapak seharga 1,5juta? Namun tidak menyuarakannya alih-alih ojek di depannya ngambek dan pergi begitu saja. Bunga segera menaiki jok motor.

"Berangkattt!" Bunga berceloteh dengan semangat.

-

Bukannya ke arah sekolah, Mustafa menyadari mereka menuju ke arah The Arena.

"Kamu mau menjebak saya ya? Kok ke arah Arena?"

"Tapi uangnya sudah Bapak ambil loh," Bunga mengelus dagunya. "Jangan khawatir, saya beneran ke sekolah, kok!" Bunga mengedipkan sebelah matanya. Mustafa mengernyit ketikan melihat ekspresi gadis itu melalui spion motor.

PurifikatorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang