Bab 4: Bayangan Masa Lalu

11 3 0
                                    

Malam itu, Dimas duduk di pinggir tempat tidurnya dengan pandangan kosong mengarah ke jendela. Angin malam yang berhembus pelan menggetarkan tirai, menciptakan bayangan yang seolah menari di dinding. Bayangan itu mengingatkannya pada masa lalu yang selalu menghantui pikirannya. Dimas teringat kembali masa-masa ketika bersama ayahnya.

Ayahnya, Endy Pratama Wiratama seorang pengusaha sukses, hidup bahagia bersama ibunya, Laras Amelia. Mereka adalah pasangan yang serasi dan selalu menantikan kehadiran anak pertama mereka dengan penuh suka cita. Namun, kebahagiaan itu berakhir tragis saat Laras meninggal saat melahirkan Dimas. Sejak saat itu, segalanya berubah. Endy yang dulu penuh kasih sayang, kini menjadi sosok yang dingin dan penuh kebencian terhadap anaknya sendiri. Saat itu Dimas pernah mendengar percakapan antara ayahnya dan sahabat lama ayahnya yaitu Pak Davi.

"Endy, kamu harus coba berdamai dengan kenyataan. Ini bukan salah Dimas," ujar Davi dengan nada prihatin.

Endy menggeleng dengan marah.

"Gimana aku bisa? Setiap kali aku lihat Dimas, aku ingat Laras. Dia meninggal karena melahirkan Dimas. Apalagi dengan apa yang terjadi pada Dimas sekarang. Bagaimana aku bisa lupa itu?" ucap Endy.

"Tapi Dimas anakmu juga, Endy. Dia butuh kamu. Laras pasti nggak mau lihat kamu begini," ucap Davi menepuk bahu Endy dengan lembut.

Endy hanya menghela napas panjang, menatap jauh ke dalam cangkir kopinya tanpa berkata-kata.

Percakapan itu selalu terngiang di telinga Dimas. Dia tahu ayahnya selalu menyalahkannya atas kematian ibunya. Dan sejak saat itu, Dimas berusaha keras untuk mendapatkan sedikit perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, meskipun selalu berujung pada kekecewaan.

Dimas menderita disfonia spasmodik, sebuah penyakit bawaan yang menyebabkan suaranya semakin serak dan lembut, hingga nyaris tak terdengar. Dia sering gagap dan terhenti di tengah kalimat, kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Setiap percakapan menjadi perjuangan berat baginya, membuat wajahnya tegang dan matanya berkaca-kaca. Kesulitan berbicara ini menyebabkan Dimas menarik diri dari interaksi sosial, lebih sering menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala.

"Ayo, coba ngomong lebih jelas, Dimas!" ucap ayahnya dengan nada tidak sabar.

"A...a...ayah," ucap Dimas menjawab pelan, suaranya hampir tak terdengar.

"Kamu nggak bisa terus begini. Gimana orang bisa ngerti kalau kamu nggak ngomong dengan jelas?" ucap ayahnya sembari menghela napas panjang.

"Kenapa sih kamu nggak bisa seperti anak-anak lain? Ini bukan soal penyakit, ini soal kemauan Dimas," ucap ayahnya mengomel suatu malam.

Dimas hanya menunduk, menahan air matanya.

Namun, meski disfonia spasmodik adalah penyakit bawaan, Dimas sebenarnya bisa sembuh jika bersungguh-sungguh menjalani terapi dan pengobatan. Sayangnya, ketidakpedulian dan tekanan dari ayahnya membuat Dimas semakin terpuruk, sehingga perjuangannya untuk sembuh menjadi semakin berat.

Hari-hari berganti, setelah sekian lama sendiri, Endy akhirnya menemukan cinta baru. Dia jatuh cinta pada seorang wanita cantik bernama Lina Maharani dan menikahinya. Saat Dimas berusia tujuh tahun, Endy dan Lina telah dikaruniai seorang putra yang diberi nama Bobby Arya Wiratama. Dimas dan Bobby terpaut usia tiga tahun. Kehadiran Dimas dirumahnya sudah seperti tidak pernah ada lagi. Ayahnya semakin menjauh darinya, menciptakan jarak yang begitu nyata di antara mereka. Dimas bisa merasakan perubahan itu dalam setiap gerakan dan kata-kata ayahnya yang semakin dingin. Jika Dimas mencoba mendekat, ayahnya selalu punya alasan untuk pergi, seolah-olah kehadiran Dimas adalah sesuatu yang tak ingin dilihat atau dihadapi.

Suatu malam, saat sedang bersantai di ruang tamu, Endy dan Lina berbincang tentang Bobby yang sedang tidur di kamar.

"Aku nggak percaya kita punya Bobby sekarang. Dia begitu lucu," kata Lina sambil tersenyum bahagia.

"Iya, dia benar-benar anugerah buat kita," jawab Endy sambil memandangi foto keluarga kecil mereka yang baru saja diambil.

Tiba-tiba, Dimas masuk ke ruang tamu.

"Apa lagi, Dimas? Kamu mau buat masalah apa lagi sekarang?" ucap Endy yang langsung mengerutkan kening.

Dimas menunduk, merasa terpojok.

"Di...Di...Dimas mi...min...ta ma...ma...af A...yah," ucap Dimas terbata-bata.

"Maaf? Kamu pikir dengan minta maaf semuanya selesai? Kamu selalu bikin hidup kita sulit!" bentak Endy dengan nada tinggi.

Lina yang sejak tadi diam, menatap Dimas dengan dingin.

"Dimas, kamu lihat kan? Kita sudah punya keluarga baru sekarang. Mungkin lebih baik kamu belajar hidup mandiri. Jangan selalu ngerepotin Ayahmu." ucap Lina.

Dimas merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Lina. Dia berbalik pergi dengan air mata yang mulai mengalir. Setelah Dimas pergi, Lina memandang Endy.

"Kenapa kamu masih biarin dia tinggal di sini? Dia cuma bawa masalah, kamu harus pikirin Bobby. Dia butuh lingkungan yang tenang dan penuh kasih sayang. Jangan biarin Dimas merusaknya," ucap Lina mendekat dan menggenggam tangan Endy.

Mendengar perkataan Lina, Endy mulai khawatir tentang Bobby. Dia takut Dimas akan memberikan pengaruh buruk pada Bobby, dan Endy tidak ingin Bobby mengalami hal yang sama seperti Dimas.

BERSAMBUNG

Hai guys

Untuk pertama kalinya aku menulis, mohon maaf jika ada salah kata yaa, karena aku bukan profesional melainkan pemula.

Jangan lupa vote, komen dan share yaa, biar aku semakin semangat buat nulis
Terima kasih.

dearlylili

Silent PresenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang