[2] "MASIH MUDA, MANA BISA STRES"

91 40 17
                                    

Setelah dua jam menunggu obat dari apotek, kini giliran Ningrum untuk mengambil obatnya.

"Permisi, mau ambil obat atas nama Indira Ningrum," ucap Ningrum kepada mbak apoteker di depannya saat ini.

"Baik, dari poli jiwa ya nona?" apoteker itu memastikan agar obatnya tidak tertukar.

"Iya," jawab Ningrum dengan singkat.

"Kapan tanggal lahir nona?" memastikan sekali lagi.

"Dua puluh tiga bulan Oktober," jawab Ningrum dengan singkat.

Setelah itu apoteker langsung memberikan satu bungkus obat racikan dengan kapsul berwarna biru muda membungkus obat tersebut. Tak lupa sang apoteker menjelaskan tentang tata cara meminum obat seperti minum sehari sekali dan sesudah makan.

"Terimakasih," ucap Ningrum setelah obatnya diberikan.

Ia pun langsung melangkahkan kaki untuk menuju parkiran rumah sakit jiwa tersebut. Namun tidak jadi, entah kenapa hatinya sangat ingin untuk berjalan-jalan sebentar di rumah sakit jiwa ini.

Dengan semangat yang sudah terkumpul ia pun melangkahkan kakinya menuju tempat lain.

"Buset dah gede bener ya ni rumah sakit," setelah berjalan sepuluh menit tanpa ujung kini Ningrum mengistirahatkan kakinya di tempat duduk sebrang IGD, tempat menunggu keluarga bagi pasien yang sedang berada di IGD.

Ningrum sedaritadi hanya melamun dan melihat orang berlalu-lalang dengan sibuknya, serta suara kursi roda dan bed menghiasi telinganya.

Namun pikiran Ningrum pecah ketika melihat seorang gadis yang keluar dari IGD dengan memakai baju pasien rumah sakit jiwa ini.

"Cakep bener dah." Ningrum benar-benar terpesona dengan gadis itu.

Kulit putih bak salju, meski terlibat pucat namun gadis itu tetap terlihat cantik. Rambut coklat gelapnya yang di cepol namun sedikit berantakan.

Gadis disebrang sana terus berceloteh tanpa henti membuat Ningrum geram karena keimutannya, bagaimana tidak? Bibirnya yang mungil terus menerus mengomel pada sang suster namun tetap saja tidak di gubris oleh susternya.

Namun setelah suster berjalan pergi dari IGD tersebut gadis itu nampak sumringah, senyumnya begitu merekah seolah-olah ia adalah mawar yang baru mekar dan langsung mengikuti kemana suster itu berjalan.

Di tengah perjalanannya gadis itu berhenti dan menyapa Ningrum yang sedari tadi memperhatikannya dengan melambaikan kedua tangannya. Dan Ningrum pun membalas dengan melambaikan satu tangannya.

"Manis banget deh ya,"

"Tapi kenapa dia bisa masuk rumah sakit jiwa ini?"

"Kelihatannya lebih muda dari gue juga sih, kasian bener dah," ucap Ningrum yang tak sadar bahwa dirinya juga masih muda, dimana ia baru akan menginjak umur delapan belas tahun pada bulan oktober nanti.

"Semoga gue bisa deh jadi psikolog biar bisa ikut menyembuhin orang-orang disini."

"Bosen dah jadi pasien mulu, soon mah jadi psikolognya disini."

"Aamiin," dengan sadar Ningrum memgaminkan doa nya sendiri.

Waktu tidak terasa kini sudah dua siang dan ini artinya waktunya Ningrum pulang ke rumah ibunya, karena sudah akhir bulan dan bulan depan adalah waktunya ia tinggal bersama ibunya.

Sebenarnya dia juga tidak ingin sebulan sekali pindah antara rumah ayah atau ibunya yang sudah bercerai itu.

.
.
.

Sesampainya dirumah ia melihat sang ayah di ruang keluarga mereka, terlihat lelah setelah bekerja. Rasa iba mengalir dalam hati Ningrum yang melihat ayahnya bekerja keras, namun...

"Ning, tolol lu? Ayah lo laper gini lo malah pergi tanpa nyiapin makanan mana rumah masih berantakan gini," sambutan tidak hangat ketika Ningrum berjalan mendekati ayahnya.

"Tadi Ning abis ke psikiater, ini Ning mau masak ayam dulu ya ayah," balas Ningrum.

"Sakit apasih lu Ning? Gila lo ke psikiater terus?" Tanya sang ayah dengan ketus.

"Ning, lo tuh masih muda. Belum nyari duit, belum ngerasain hidup susah tapi udah gila aja lo Ning," sang ayah menambahkannya lagi.

Hampir setahun ini Ningrum berobat dan Ia hanya bisa tersenyum karena sudah terbiasa dengan hal seperti ini karena Ibu atau Ayahnya sama saja. Mereka tidak pernah mendukung Ningrum selama berobat ke psikiater, bahkan untuk mengantarkan Ningrum ke psikiater pun tidak pernah karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya atau ibu yang sibuk dengan keluarga barunya.

"Gapapa ayah, Ning cuma capek hidup aja," jawab Ningrum ketika mulut ayahnya hampir merepet lagi.

Setelah itu Ningrum meninggalkan ruang keluarga dan berlari ke kamarnya untuk berganti baju agar lebih nyaman ketika memasak, namun dari kamar Ningrum bisa mendengar kalo ayahnya meruntuki anaknya sendiri.

"Masih kecil udah capek hidup lo, ngapain aja emang? Kerja aja kagak lo,"

"Ga tau apa-apa tentang kehidupan sok-sokan capek lo Ning,"

"Dasar anaknya Jenita, lemah banget emang lo kaya emak lo,"

Dan masih banyak lagi yang Ningrum dengar namun Ia sudah terbiasa akan hal itu. Sejak kecil ia sudah diruntuki sumpah serapah orang tuanya, sudah terbiasa juga jika di pukuli orang tuanya, dirinya juga sudah terbiasa bila fisiknya dihina oleh ayahnya karena terlalu mirip sang Ibu atau sang Ibu yang merasa jijik karena fisiknya terlalu mirip dengan darah dagingnya sendiri. Hal itu sudah biasa 'kan?

Kali ini ia berusaha mengabaikannya lagi tapi hanya masih terasa sakit meski ia tumbuh dengan kata-kata kasar dari orang tuanya.

"Bacot banget dah si Khaidar," ucap Ningrum dari balik pintu kamarnya.

DAN JIWANYA (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang