Chapter 1

177 74 51
                                    

DISCLAIMER

The characters, places, and events appearing in this work are fictitious. Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental.

 Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Play the BGM for the better experience!]
BGM by Nocturne

Giaccarini Franco © FIRSTYRN

.
.
.
.

CHAPTER 1

Loreta, Geriten.
Tahun 1763 Kalender Matrimius.

Nama Giaccarini tak diberikan pada lelaki itu tanpa sebuah alasan. Namun, alih-alih memanggilnya dengan nama tersebut, kakak-kakak perempuannya lebih suka memanggilnya banci. Giaccarini, si anak banci. Sepuluh tahun lalu saat pertama kali julukan itu digaungkan ke seluruh isi rumah, ia menangis selama kurang lebih dua jam dan empat puluh menit-dan fakta itu seakan makin memperkokoh betapa julukan itu sangat cocok untuknya.

"Kalau begitu, mari bertaruh. Ayo kita kubur mainannya. Aku akan membotaki kepalaku kalau sampai Giaccarini, si cengeng, berani membalasnya. Dia kan penakut. Bolos sekolah saja sudah terkencing-kencing," kata kakak keduanya pada suatu malam. Giaccarini yang pada saat itu menginjak masa pubertas awal mengeratkan teddy bear-nya setelah tak sengaja menguping obrolan ababil saudari-saudarinya.

Siapa saja yang tidak berani memukul lalat bagi saudari-saudarinya adalah pecundang. Pecundang yang bahkan tidak perlu dikasihani. Biarkan dia mati oleh seleksi alam, begitu pikir mereka lalu tertawa-tawa kecil di sepanjang lorong rumah yang penuh dengan ukiran tanduk rusa setiap dua meter sekali. Giaccarini ada kalanya berdiri di ujung lorong, mengampit buku tebal usang berisi rumus-rumus matematika, menoleh, dan menatap mereka selama sepuluh detik. Lalu, pada detik ke-sebelas, ia berharap salah satu ukiran tanduk rusa itu menjatuhi kepala mereka sampai benjol.

Benar. Hanya sampai kepala mereka benjol.

Berbeda dengan saudari-saudarinya, Giaccarini tidak memiliki hasrat untuk berlaku durjana, apalagi menggunakan kelemahan orang lain sebagai bahan olokan. Ia tak paham, kesenangan macam apa yang bisa diperoleh seseorang dengan melakukan penindasan. Nah, persis seperti itu. Penindasan. Kata yang tepat untuk mengekspresikan bentuk hubungan antara Giaccarini dengan saudari-saudarinya.

Setelah ulang tahunnya yang ke-delapan belas, mereka berhenti mengoloknya dengan kata banci. Seharusnya Giaccarini merasa senang, tetapi entah bagaimana ia justru merasa semakin tersinggung. Ia berteori, gadis-gadis itu masih menertawainya dari belakang. Apapun itu, nilainya lebih dari cukup untuk membangkitkan kenakalan dalam diri Giaccarini.

Sejak saat itu, Giaccarini mulai bersemangat. Bersemangat untuk membuktikan bahwa ia bukanlah banci. Ia adalah seorang lelaki sejati dan lelaki sejati tidak seharusnya dipandang sebagai bahan lelucon. Karena itu, langkah pertama yang ia lakukan untuk membuktikan keperkasaannya adalah dengan membolos kuliah. Sejak semester empat dimulai sebulan yang lalu, terhitung sudah empat belas kali Giaccarini tidak menghadiri kelas. Jadi, siapa yang seharusnya membotaki kepalanya sekarang?

GIACCARINI FRANCOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang