Chapter 3

54 27 0
                                    

DISCLAIMER

The characters, places, and events appearing in this work are fictitious. Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental.

 Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Play the BGM for the better experience!]
BGM by Homie

Giaccarini Franco © FIRSTYRN

.
.
.
.

CHAPTER 3

Leiden, Lammar.
Tahun 1764 Kalender Matrimius.

Dalam perjalanannya menuju Leiden, Giaccarini terus teringat akan respon Dormier di meja makan malam hari itu mengenai perpindahannya. Ia ingat ayahnya itu bahkan tak melirik sama sekali, seakan salmon asap di piringnya lebih menarik daripada dirinya. Istri kedua ayahnya saat itu menjadi satu-satunya yang tertarik dengan kabar yang dibawanya. Wanita yang sedikit lebih tua dari ibunya itu tersenyum sambil mengupaskannya buah plum. Siapa pun tahu, Giaccarini tidak bisa memakan buah itu atau ia akan menderita masalah pencernaan. Ingatan itu memperburuk mabuk lautnya.

Setelah terombang-ambing beberapa minggu yang terasa seperti tahunan, Giaccarini bisa menginjakkan kaki di daratan. Ia tidak membawa banyak barang, hanya satu tas kulit persegi karena menurut Gemma, Giaccarini bisa mendapatan barang-barang baru di Leiden. Antara pelabuhan dengan Akademi Sains dan Matematika Leiden berjarak tiga hari empat malam bila ditempuh dengan kereta kuda-seminggu jika kuda itu memilih merumput di sela-sela perjalanan. Setelah menunjukkan alamat yang ditujunya pada kusir, mereka pun meninggalkan pelabuhan serta bau amis lautan di belakangnya.

Lammar tidak sama seperti Geriten. Negara yang dikelilingi lautan itu secara astronomis berada di antara garis isotherm pada bumi bagian utara dan selatan. Bagi para penuntut ilmu di Geriten, Lammar bagaikan pulau kebijaksanaan, magnet bagi mereka yang mencintai pengetahuan. Cerita-cerita kehidupan di Lammar bukan sesuatu yang terdengar asing. Di sekolah-sekolah, anak-anak akan diajari untuk berbicara dalam bahasa Lammar, dengan harapan saat mereka dewasa, mereka akan pergi ke negara itu dan kembali untuk menghidupkan pengetahuan di tanah air. Giaccarini ingat, saat masih kanak-kanak, ada seorang pria paruh baya yang dibayar untuk membuatnya fasih berbahasa Lammar. Tidak seperti matematika, Giaccarini dengan cepat menguasainya. Guru bahasa itu keluar setelah tujuh bulan mengajarnya, kemudian ibunya terus membawa orang-orang yang berbeda untuk mengajarinya bahasa-bahasa yang berbeda. Intinya, kau harus sempurna, atau orang-orang akan menggunjingmu.

Sama seperti yang dibicarakan orang-orang, Lammar ternyata memang sungguh hangat. Sangat berbeda dengan Geriten. Jauh. Di Geriten, terutama di bagian paling utara di mana wilayahnya beriklim tundra, mereka harus menunggu berbulan-bulan lamanya sekadar untuk melihat bunga-bunga mekar dengan indahnya dan tunas-tunas baru bermunculan. Di Lammar, bunga bertebaran di sepanjang jalan. Giaccarini hampir tidak berkedip saat melihat bunga beraneka warna yang hanya pernah dilihatnya di buku morfologi tumbuhan. Namun, di hari-hari berikutnya Giaccarini tidak lagi menaruh minatnya pada bunga-bunga itu. Hari mendung, menambah rasa tidak nyaman yang sudah menggelayutinya sejak berada di kapal laut. Bukan mabuk. Hanya... rasa kesal dan hampa. Sekarang ia ada di tempat antah berantah. Sefasih apa pun kemampuannya berbicara, ia tetap seorang asing di negeri ini. Ia merasa terbuang dan disia-siakan hanya karena sebuah kesalahan kecil. Dan bunga-bunga itu tak cukup indah untuk mengobati kekosongan di hatinya.

GIACCARINI FRANCOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang