Chapter 2

83 48 26
                                    

DISCLAIMER

The characters, places, and events appearing in this work are fictitious. Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental.

 Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Play the BGM for the better experience!]
BGM by Hexen

Giaccarini Franco © FIRSTYRN

.
.
.
.

CHAPTER 2

Matematika telah melebur ke dalam jiwa kanak-kanak Giaccarini. Operasi dasar hingga rumus deret geometri menghubungkan neuron-neuronnya dengan santun, membuatnya tampak seperti jalan raya yang terus-menerus bermunculan dan saling terhubung di Loreta. Jika anak lelaki berusia tujuh tahun pada umumnya menghabiskan satu hingga tiga jam bermain di rumah kawan-kawan mereka, Giaccarini berbeda. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan mendekam di ruang belajar yang terdapat di sisi kanan perpustakaan keluarga Franco.

Seharusnya ruang belajar itu menjadi ruangan kesukaannya. Tempat yang sunyi, jauh dari gosip payah gadis-gadis yang berbagi DNA dengannya. Seharusnya begitu. Sebelum matematika menghancurkan kenangan tentang ruang sebesar empat kali lima meter itu. Materi demi materi, tahun demi tahun berlalu. Hingga aljabar datang dan meluluhlantakkan kepercayaan dirinya berkat tanda C yang tergores kasar di sisi kanan lembar pemberitahuan hasil ujian matematikanya. Sejak saat itu Giaccarini membenci matematika yang menjelma menjadi monster yang tak dapat ia pahami.

Ibunya mengirimnya ke ruang belajar lebih lama dari biasanya setelah mengetahui bahwa satu-satunya anak lelaki dalam keluarga mereka, tidak bisa menyelesaikan soal-soal yang bagi para jenius dianggap seperti mencari kutu di kepala yang botak.

Semudah itu dan kau tidak bisa! Kalimat andalan sang ibu setiap kali Giaccarini gagal dan semakin gagal untuk memecahkan satu soal. Giaccarini pun ditinggalkan di dalam ruang belajar sendirian. Ia tahu pintu itu tidak akan dibuka hingga ia berhasil menguasai apa yang menjadi kekurangannya. Ia tahu itu. Dan jelas sama tahunya ketika ia pastinya akan menghabiskan semalam suntuk di dalam ruangan dengan sedikit penerangan, bau apek, dan pengap mengitarinya. Dibandingkan membayangkan sosok hantu saat malam tiba, Giaccarini lebih merinding menatap tongkat kayu yang tersandar pada salah satu sisi dinding. Ujung tongkat itu hampir retak, terlampau sering digunakan sang ibu untuk memukul jemarinya setiap kali wanita itu mengamati Giaccarini membuat kesalahan kecil seperti keliru menulis angka satu dan tujuh. Yah, sekecil apapun kesalahan memang tidak dapat ditoleransi dan akan menghasilkan perhitungan yang bobrok, bukan?

Semudah itu dan kau tidak bisa! Lagi. Kalimat itu akan diulang lagi minggu berikutnya saat sekolah mengajarkan para muridnya materi baru. Giaccarini akan sama saja, terlambat mengerti daripada yang lain, lalu mendapat ujian dengan satu lagi C. Ia akan menunggu ibunya untuk menghakiminya, merasakan jemarinya bengkak akibat tiga hingga delapan pukulan, terjebak semalam suntuk, dan dipaksa mengerti dengan sesuatu yang tak ia mengerti, sementara teman-teman sebayanya di Akademi Matematika dan Sains Mare sedang atau telah menguasai hal baru. Lagi-lagi hal baru itu akan diajarkannya di kelas mendatang. Siklus yang sama akan terulang kembali.

GIACCARINI FRANCOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang