20. Three Phases

75 51 77
                                    

Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah alam turut merasakan kegelisahan yang tumbuh di hati Ken. Sudah berhari-hari ia merenungkan pesan singkat dari Niskala, memutar kembali setiap kata dan rasa yang ia coba sampaikan. Tidak mudah baginya untuk memutuskan, kendati ada sesuatu yang terus menariknya untuk kembali, untuk mendengarkan apa yang belum sempat terucap, dan untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan yang menggantung di antara mereka. Akhirnya, dengan langkah yang sedikit ragu namun penuh tekad, Ken mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan. Ia mengajak Niskala bertemu—untuk berbicara, untuk memahami, dan mungkin, untuk menemukan kembali apa yang telah hilang di antara mereka.

Ken memilih suatu tempat yang dulu merupakan salah satu opsi selain pantai untuk menjadi tempat pelarian mereka dari hiruk-pikuk dunia—sebuah cafe kecil penuh dengan kucing yang berlarian riang. Dulu, setiap sudut cafe ini menjadi saksi tawa dan canda mereka, tempat di mana kebersamaan terasa begitu ringan dan hangat. Namun kini, Ken duduk sendirian di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Hawa dingin dari pendingin ruangan menyapu kulitnya, tetapi pikirannya terasa lebih beku. Matanya menatap kosong keluar jendela, mengamati hiruk-pikuk di jalanan tanpa benar-benar melihat. Jantungnya berdebar-debar, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Rasa rindu yang menggulung dalam hatinya bertemu dengan rasa kecewa yang sama kuatnya, menciptakan badai perasaan yang sulit untuk ia kendalikan. Dan di tempat inilah, Ken menunggu dengan harapan bahwa pertemuan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik, atau setidaknya, sebuah kesempatan untuk mengurai segala yang belum selesai di antara mereka.

Gelagatnya gelisah, jari-jarinya bergetar ringan di atas meja kayu yang dingin. Ia tahu bahwa setiap detik yang berlalu mendekatkannya pada momen di mana ia harus berhadapan dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. Namun dibalik semua itu, ada harapan kecil yang ia genggam erat—harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka masih bisa memperbaiki keadaan.

Pintu cafe terbuka, dan Ken bisa merasakan kehadirannya sebelum ia melihatnya. Niskala memasuki ruangan dengan langkah pelan, seakan setiap langkahnya membawa beban yang tak terlihat. Wajahnya menampakkan kelelahan, tetapi juga ada tekad di dalamnya. Saat mata mereka bertemu, waktu seolah berhenti sejenak. Mereka saling menatap dalam diam, jarak yang dulu terasa tak berarti kini menjadi penghalang yang sulit ditembus.

Ken berdiri, menyambutnya dengan anggukan kecil. Niskala mengangguk balik, dan dalam keheningan itu, ada banyak yang ingin mereka sampaikan, kendati tak satupun kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka hanya saling menatap, merasakan ketegangan yang menggantung di udara, tetapi mereka juga sadar bahwa pertemuan ini adalah langkah pertama untuk menyembuhkan luka yang mereka bawa.

Dengan hati-hati, Niskala duduk di hadapannya. Keheningan yang terasa canggung itu terus berlanjut, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—bukan sekadar kebisuan, melainkan kesadaran bahwa mereka berdua ingin memperbaiki keadaan. Ken menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Niskala mengalihkan pandangannya sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan yang sudah lama tertunda.

Mereka tahu, ini tidak akan mudah. Namun di dalam hati mereka, ada keinginan yang sama—untuk kembali ke saat-saat dimana segalanya terasa lebih sederhana, lebih indah, dan penuh kebahagiaan.

Niskala menatap cangkir di hadapannya, jari-jarinya yang biasanya mantap kini gemetar halus. Dia menarik nafas dalam, seolah berusaha mengumpulkan kekuatan dari udara di sekitarnya. "Ken," suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang menyatu dengan gemerisik dedaunan di luar jendela. "Aku tahu... aku sering kali terlalu banyak memberi, mungkin sampai membuatmu merasa aku tidak memikirkan diriku sendiri. Tapi itu bukan karena aku ingin mengabaikan diriku sendiri. Aku hanya... takut kehilangan orang-orang yang ada di sekitarku."

Mata Niskala berkabut, bayang-bayang masa lalu melintas di hadapannya, membawa kembali ingatan akan sosok ayahnya yang pergi begitu saja, meninggalkan kekosongan yang tak pernah terisi. "Aku kehilangan ayahku sejak kecil, Ken. Sejak saat itu, aku merasa seperti harus selalu ada untuk orang lain, harus memberi, harus mencintai lebih dulu... karena kalau tidak, mereka juga akan pergi meninggalkanku." Suaranya pecah di akhir kalimat, bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah terlalu lama dipendam.

Colors Of Healing [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang