21. Senja yang Berbeda

46 31 112
                                    

Malam perlahan menyelimuti langit, membawa ketenangan setelah pertemuan yang penuh emosi antara Ken dan Niskala. Ken pulang ke rumahnya dengan perasaan yang jauh lebih damai dan tenang dibandingkan sebelumnya. Perasaan berat yang selama ini menghantuinya perlahan menghilang, digantikan oleh harapan yang mulai tumbuh kembali. Meskipun begitu, ada sesuatu yang lain di dadanya, sebuah debaran yang pernah ia coba lupakan setelah konflik yang terjadi. Debaran itu kini muncul lagi, menggeliat dengan keinginan yang tak bisa diabaikan.

Setelah membuka pintu rumahnya, Ken disambut oleh dua majikannya yang setia, Mia dan Cahyo. Kedua kucing itu segera mengitarinya, seolah-olah ingin tahu bagaimana harinya berjalan. Ken tersenyum kecil, kemudian duduk di sofa dengan Mia melompat ke pangkuannya, sementara Cahyo duduk tenang di sampingnya.

"Haruskah aku menyatakan perasaanku?" Ken berbisik pelan, lebih kepada dirinya sendiri, tetapi pandangannya tertuju pada kedua kucing itu. Mia mengeluarkan suara lembut, diikuti oleh Cahyo yang mengeong dengan nada rendah, seakan-akan mereka sedang berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

Cahyo, si kucing jantan yang biasanya tenang, tampak berpikir sejenak sambil mengangkat satu kakinya untuk menggaruk telinga. Setelah beberapa detik, dia mengeluarkan suara lembut, "Miaw...," seolah mencoba merangkai kata-kata di dalam pikirannya. Dia kemudian mendongak ke arah Ken dengan tatapan serius, "Miaw... Sepertinya dia cukup baik untuk kamu, Ken."

Mia yang tak mau kalah, mulai menggerak-gerakkan ekornya dengan gemas, dengan pandangan penuh percaya diri, dia mengeluarkan suara, "Miaww...," yang terdengar sedikit lebih manja, dia berkata, "Benar, dia juga cantik, miaw... walau tentu saja lebih cantik aku."

Cahyo, yang mulai merasa tersaingi, mengangkat kepalanya dan mengeluarkan suara tegas, "Meong!" seakan ingin memastikan suaranya lebih didengar. Dia kemudian mendekati Ken dan menggosokkan kepalanya ke lengan Ken, sambil berkata, "Miaw... Aku juga nyaman di dekat Niskala. Miaw... Aku merasakan ketenangan ketika tidur di pangkuannya."

Ken tertawa kecil melihat tingkah kedua kucing itu. Cahyo dan Mia, dengan segala tingkah gemas mereka, seolah benar-benar sedang mendiskusikan hal yang serius. Meski yang didengar oleh Ken hanyalah rangkaian 'miaw' yang khas, kendati tingkah mereka yang penuh ekspresi membuatnya merasa seolah benar-benar bisa memahami setiap kata. Di tengah kebingungannya, Ken merasa bahwa Mia dan Cahyo, dengan bahasa mereka sendiri, sedang memberikan dorongan dan persetujuan—bahwa mungkin inilah saatnya dia mengungkapkan perasaannya yang telah lama terpendam.

Dengan tekad yang mulai tumbuh di dadanya, Ken memutuskan untuk menelpon seseorang. Ini bukan sesuatu yang biasa ia lakukan; rasa gengsi sering kali menghalangi dia untuk menghubungi lebih dulu. Namun kali ini, dorongan hatinya lebih kuat.

Ken menatap ponselnya sejenak, seolah mencari keberanian dalam kerlip layar sebelum akhirnya ia menekan tombol panggil. Hanya beberapa detik berselang, terdengar suara ceria di ujung sana, "Halo, Ken? Ada apa? Tumben telepon duluan? Kangen ya?"

Ya, itu suara Mamanya yang berbicara dengan nada penuh kehangatan berhasil membuat Ken merasa nyaman.

Ken terkekeh pelan, rasa rindu yang selama ini ia simpan muncul dalam tawa kecilnya, "Kangen sudah jelas, Ma. Tapi Mama sih ngga pulang-pulang." Ken mencoba menggoda, tetapi ada kejujuran di balik kata-katanya.

Mamanya hanya bisa tertawa, suara tawa yang selama ini menjadi musik terindah bagi Ken, "Maaf ya, Nak. Nanti kalau ada waktu Mama pulang, janji." Meskipun terpisah oleh jarak dan waktu, suara mamanya selalu berhasil membawa pulang Ken ke dalam pelukan hangat yang ia rindukan.

Setelah beberapa obrolan ringan, Ken akhirnya mulai membuka dirinya, "Ma, aku menemukan seseorang yang... sangat mirip sama Mama. Dia mengingatkan aku pada kehangatan, kenyamanan, dan kedamaian yang sama seperti saat aku sama Mama."

Colors Of Healing [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang