10. Badai dan Luka

86 57 95
                                    

Niskala menjalani hari itu dengan perasaan sedih dan hancur. Bayangan perdebatan yang terjadi antara dirinya dengan Ken terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia mengingat ekspresi kecewa Ken, hatinya terasa seperti diremas. Siang hari itu, saat ia sedang bekerja di cafe, Rehan datang berkunjung. Niskala merasa ini adalah kesempatan untuk mendapatkan jawaban dan pemahaman lebih tentang Ken. Rehan yang baru memasuki cafe, melihat Niskala tengah memandangnya. Ia pun duduk di hadapan Niskala setelah memesan minuman di kasir.

"Hai, Rehan. Aku ingin bertanya sesuatu." Niskala mulai berbicara dengan suara lembut kendati ketegangan tetap terasa disana, "Sejak kapan kamu bersahabat dengan Ken?"

Rehan tersenyum mengingat kenangan lama. "Kami sudah bersahabat sejak lama, bahkan sebelum aku masuk kuliah. Ken itu orang yang sangat setia dan tulus, meskipun kadang dia sulit membuka diri."

Niskala menatap Rehan dengan cermat, mencoba menangkap setiap detail yang bisa membantunya memahami Ken lebih baik. "Apa yang membuatmu bisa bertahan bersahabat dengan Ken?"

Rehan menghela napas panjang, matanya tampak merenung. "Ken adalah orang yang tidak suka dengan kelemahan, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. Pernah suatu waktu, aku marah pada diriku sendiri karena merasa lemah dan tidak mau bangkit setelah pertengkaran di rumah. Ken memarahiku habis-habisan. Dia bilang aku harus kuat, bukan hanya untuk diriku sendiri tapi juga untuk orang-orang di sekitarku."

Niskala mengangguk, hatinya semakin berat. Ia ingat betapa kerasnya Ken saat mereka bertengkar. "Dia memang susah mengungkapkan perasaan dan emosinya, ya?"

"Betul sekali," Rehan mengangguk dengan mata penuh pengertian. "Tapi itu bukan berarti dia tidak peduli. Dia peduli, hanya saja caranya berbeda."

Air mata menggenang di mata Niskala. Ia merasa bersalah dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. "Aku ingin berbicara lagi dengannya, Rehan. Tapi aku takut. Takut kalau emosinya belum stabil dan kami malah bertengkar lagi."

Rehan menyentuh lengan Niskala dengan lembut, memberikan dukungan. "Kadang, waktu dan tempat yang tepat bisa membantu. Mungkin kamu perlu menenangkan pikiranmu dulu sebelum berbicara lagi dengannya."

Niskala mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang meksipun tetap ragu. "Mungkin aku harus menenangkan pikiranku sejenak."

Rehan mengangguk setuju. "Itu ide bagus."

Niskala menghapus air matanya, bertekad untuk menemukan cara memperbaiki hubungan dengan Ken. "Terima kasih, Rehan. Aku akan mencoba untuk berpikir jernih."

Rehan menepuk pundak Niskala dengan lembut, memberikan semangat. "Aku yakin kamu bisa melalui ini, Niskala. Ken juga pasti merasakan hal yang sama."

Dengan perasaan yang masih berkecamuk, Niskala kembali bekerja, berusaha fokus pada tugasnya. Namun, di hatinya, ia sudah memutuskan untuk pergi ke pantai sore itu, berharap bisa menemukan cara untuk menghadapi ketakutan dan keraguannya sendiri.

Niskala memutuskan untuk pergi ke pantai setelah bekerja, berharap menemukan ketenangan setelah konflik yang menyakitkan di cafe kemarin. Langit senja yang memerah menjadi latar belakang ketika ia tiba, dengan angin laut yang lembut mengelus wajahnya. Hatinya masih bergemuruh, tetapi ia berharap ketenangan pantai bisa meredakan gejolak batinnya.

Tanpa disangka, di kejauhan, Niskala melihat sosok yang sangat dikenalnya. Ken duduk di atas batu besar, memandang laut dengan tatapan kosong. Alat lukisnya tergeletak begitu saja di dekatnya. Jantung Niskala berdetak kencang, tidak menyangka akan bertemu Ken di tempat ini. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat.

"Ken," sapanya lembut, berusaha menyembunyikan kegugupan. Ken menoleh, sedikit terkejut melihat Niskala.

"Niskala, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ken, suaranya datar.

Colors Of Healing [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang