--☆--
Hidup di bawah atap asing bersama para saudari yang belum Laura rasakan kekeluargaan nya, Laura coba beradaptasi. Tidak bisa Laura sepelekan tentunya. Pengabaian? Ketidakseimbangan hubungan antara dirinya dan 5 anak sah sang Papa tidak mudah untuk dijalani.
Seakan menolak, beberapa kali Laura tidak bisa melakukan sarapan dan makan malam 1 meja dengan mereka. Bukan bersikap kurang ajar, hanya saja tidak masuk akal jika meja makan sepanjang itu hanya di pakai spesial untuk mereka.
"Ngapain?" tanya Askiya, dirinya mencegah Laura untuk duduk di salah satu kursi saat sesi sarapan bersama.
Laura bisa merasakan Resa mencoba menariknya mundur tetapi dia enggan. "Kita berdua duduk di ujung, gak bakal ganggu kalian kok, gak liat sejauh apa jarak kursi di sini sama kalian di sana?"
"Gue nya yang gak sudi 1 meja."
Kasar Laura menghela napas. Sudah berhari-hari ia tidak bisa makan dengan tenang di meja makan. Sudah seperti sesi-sesi an saja. Namun, melihat Resa yang sudah terbiasa makan terakhiran membuat Laura semakin ingin memaksakan bahwa tidak ada yang salah dari makan 1 meja.
"Kita makan juga gak banyak omong kok, apanya sih yang ngeganggu." Laura coba meyakinkan.
"Ini seriusan pakek nanya?" Sastia datang dari belakang. "Tau diri dikit lah."
"Udah sana hus hus!" usir Askiya mengibas-ngibas tangan nya.
"Ra, ayo kita nanti aja makan nya," bisik Resa, memohon Laura ikuti saja permintaan mereka berdua.
Laura balas berbisik. "Kak Resa ikut kata aku deh, kita berhak makan disini."
"Lo bisa makan terakhiran, udah sana pergi!" usir Askiya sekali lagi—jengkel karena Laura tidak bergerak satu langkah pun untuk pergi.
"Kita berdua bakal makan di meja ini." Yakin Laura sembari mengangkat piring yang ia bawa sendiri.
"Lo ngerti bahasa manusia gak sih?! Gue bilang pergi ya pergi!"
"Gak usah ribut." Rana angkat bicara. "Kalian berdua bisa kan terakhiran aja makan nya? Atau gak, ke ruang santai kek," saran Rana.
Askiya terlewat kesal, mendorong Laura tidak fokus. Pegangan gadis yang baru melepas gips nya itu merasa bahwa tangan nya kembali mati rasa sesaat, melonggarkan piring—membuatnya terlepas dan pecah di dekat kaki Askiya.
"Kiya!" Sastia histeris.
Plak!
Resa melotot terkejut. Setelah Askiya terjatuh karena serpihan kaca menusuk kaki nya, Tari datang terburu dari belakang dan menampar keras pipi Laura.
"Kamu ngerti apa yang adek aku minta kan? Sekarang kamu udah bikin Kiya luka." Tari menekan bahu Laura berkali-kali dengan telunjuknya.
"Kiya bisa berdiri?" Khawatir Rana, ia ulur tangan untuk menarik Askiya dalam rangkulan.
"Awhh, sakit Kak," lirih Askiya, setelah melihat darah mengucur perih nya tidak bisa di tahan lebih lama. Erat ia mencengkram rangkulan Cello yang ikut membantu.
Sedang Laura tidak terima karena dirinyalah yang justru di anggap bersalah, kata-kata sulit keluar dari mulutnya melihat semua tatapan benci untuk nya.
"Kamu juga." Resa balas menatap Tari. "Gak becus tau diri nya."
Tari langsung melengos pergi mencari supir untuk mengantarkan Askiya menuju rumah sakit. Di takutkan ada serpihan kecil yang tidak terlihat saat di obati sendiri.
💮
20 menit lamanya Laura menatap langit-langit kamar. Rasa bersalah mulai bersarang, walaupun sebelumnya ia merasa bahwa kejadian tersebut bukan salahnya, mungkin saja benar itu salahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Sisterhood | BABYMONSTER
ФанфикLaura tidak pernah menduga bahwa kehidupan nya yang berada di bawah keterbatasan ekonomi dan kriminalitas lingkungan hidupnya kini bisa menaiki tangga kemewahan berkat bantuan lelaki paruh baya yang mengaku sebagai sosok Papa kandung nya. Segala pun...