Cukup lama hingga Stevan berhenti menangis, Jihan kembali duduk ke kursinya. Teh mereka bahkan sudah dingin saking lamanya Stevan menangis dalam pelukan Jihan.
“Kakak mau teh yang baru?” tawar gadis itu.
Stevan menggeleng, “Ini aja, enak gak perlu ditiup.”
Jihan mengangguk, “Kakak mau sekalian makan malam, nggak? Aku soalnya mau mandi habis itu masak.”
Stevan melirik arlojinya, sepertinya... dia akan pulang telat. “Gak ngerepotin?”
Jihan menggeleng, “Enggak, kok. Kakak disini dulu aja, ya.”
Selang tiga puluh menit, Jihan sudah kembali dengan setelan santai dan rambut yang diikat hingga memperlihatkan leher jenjangnya. Gadis itu mulai memilih-milih bahan di dapur dengan cekatan.
Stevan membuntuti Jihan, “Kamu mau masak apa?”
“Tumis kangkung sama sambal cumi. Kakak doyan pedas?”
Stevan menggeleng, Jihan mengangguk paham. “Nanti punya kakak aku sendirikan. Kakak mandi dulu, gih. Aku ambilin baju ayah, gak apa-apa ya? Bersih, kok.” titahnya lembut.
Stevan lagi-lagi mengangguk menurut, sejam kemudian, mereka sudah duduk berhadapan di depan meja makan. Jihan mengambilkan nasi, sayur dan lauk untuk Stevan. Juga air minum. Barulah kemudian ia mengambil untuk diri sendiri.
“Dimakan, Kak.”
Stevan mengangguk, buru-buru ia mencoba masakan Jihan, sebab perutnya sudah keroncongan memang. Seusai makan, Jihan merapikan piring dan dicuci, sedangkan Stevan hanya melihat. Jujur saja dia tidak pernah mencuci piring sekalipun. Pun dengan lauk dan sayur yang dimasukkan ke kulkas.
“Kak, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Jihan hati-hati.
Gugup menyerang Stevan seketika, “Boleh.”
“Yang ngasih kerjaan di kantor itu... kakak, ya?”
Stevan merasakan jantungnya berdebar, “Iya. Kamu... keberatan?”
Jihan menggeleng dengan senyuman tipis, “Makasih banyak ya, Kak.”
Di luar dugaannya, Stevan kira Jihan akan marah, ternyata gadis itu malah berterimakasih. “Satu lagi pertanyaan, boleh?” tanyanya. Lagi-lagi Stevan mengangguk.
“Beasiswa itu... campur tangan kakak juga?”
Stevan mengangguk kikuk, niatnya membantu dalam bayang-bayang pun gagal begitu saja. “Aku, aku merasa bersalah kamu mau putus kuliah. Semuanya gara-gara aku. Aku yang ambil ayah kamu dari kamu, sumber nafkah kamu selama ini, tempat kamu berteduh.”
Jihan menghela nafas, “Habis semua ini, berhenti nolongin aku, Kak. Ini semua sudah lebih dari cukup dan aku sangat menghargai niat kak Stevan. Berhenti nyalahin diri, ya Kak? Kakak tau nggak? Bukannya aku menolak pemberian. Akan tetapi dari buku yang pernah aku baca, beberapa anak memang terlahir beruntung di tengah keluarga yang lebih dari berkecukupan. Sisanya lebih beruntung karena diberi hati dan tulang yang kuat untuk berusaha sendiri.”
Stevan tersenyum, penjelasan Jihan benar-benar menyentuh relung hatinya. “Tapi aku masih boleh komunikasi sama kamu, kan?” tanyanya berharap.
Mendengarnya, Jihan terkekeh. “Ya boleh, lah... kalau gak ada yang marah.” candanya.
Stevan nyaris menangis lagi, merasa beban di dalam dadanya sudah terangkat. “Makasih, Jihan.” ia segera memeluk tubuh mungil Jihan, hingga gadis itu terperanjat kaget namun cuma diam menanggapi.
Beberapa bulan berlalu, di semester 6 ini, Jihan mau kembali ke kampus dan bekerja di cafe. Itu niat awalnya, sih. Tapi perusahaan tempatnya bekerja ini menawarkan kontrak lagi untuk satu semester pada Jihan, gadis itu bisa mulai kerja lagi minggu depan. Tentu saja diterima, sebab Jihan juga butuh. Gajinya selama magang saja sudah lebih dari cukup untuk membeli kebutuhan sehari-harinya, termasuk skincare, makeup dan beberapa baju baru. Bahkan dia juga bisa membeli motor baru secara cash.
KAMU SEDANG MEMBACA
✅Bergala Bunga Matahari | Kim Soohyun Kim Jiwon
FanfictionBatal menikah membuat Stevan melampiaskan kemarahannya pada minuman keras, hingga tengah malam tiba, ia terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawa seorang lelaki tua. Dalam kekalutannya, seorang gadis muda malah mengulurkan sebotol air minum ali...